MAKALAH SYARIAT ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Syariat islam adalah bagian dari kesadaran sejarah Agama Islam di dunia.
Syariat islam berkembang dan terus menjadi panduan hukum di berbagai Negara,
bukan hanya Indonesia yang memakai syariat islam bahkan Negara- Negara besar
pun ada yang memakai syariat Islam di negaranya.
Syariah adalah ketentuan-ketentuan agama yang merupakan pegangan bagi
manusia di dalam hidupnya untuk meningkatkan kwalitas hidupnya dalam rangka
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hal itu selain karena syariat islam melengkapi hukum di dunia, syariat
islam juga memenuhi persyaratan untuk melindungi manusia atau bisa disebut HAM. Syariat islam pun tidak hanya meliputi
hukum-hukum di dunia tetapi banyak hal di dunia ini seperti ekonomi,
pembelajaran, pernikahan, dll
Mungkin pada zaman sekarang manusia sangat memerlukan teknologi contoh
nya handphone, komputer, laptop, televisi, dll di era globalisasi ini banyak
sekali teknologi-teknologi canggih jadi banyak sekali pekerjaan yang di
zamannya membutuhkan waktu yang lumayan lama tapi sekarang hanya dalam hitungan
menit, jam, atau pun hari pekerjaan itu bisa terselesaikan.
Akan tetapi di zaman yang sangat modern ini banyak sekali kekurangannya,
misalnya orang-orang lebih suka menggunakan cara instan di bandingkan cara di
zaman dahulu yang lumayan rumit, dan banyak juga orang-orang di zaman sekarang
yang tidak lagi mementingkan akhirat hanya mementingkan duniawi jadi banyak
sekali terjadi korupsi dimana-mana, pelecehan seksual, pelanggaran hukum HAM,
dll
2. Rumusan Masalah
A.
Pengertian Syariah Islam Dalam Kehidupan
B. Ruang
Lingkup Syariah
C. Sumber-Sumber
Syariah
D. Klasifikasi
Syariah
E. Ibadah
Sebagai Bagian Dari Syariah
F. Kerancuan
persepsi tentang Syari’at Islam dalam era globalisasi
G. Kerancuan
Persepsi pada beberapa masalah tertentu dalam syari’ah Islam
H. Menerapkan
Syariat Islam di Bid ang Sosial, Budaya dan Pendidikan
3.
Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa banyak pengetahuan kita
tentang syariat islam, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang mampu
menjadi panduan hidup kita, bahkan ada negara-negara besar di dunia ini yang
memakai syariat islam untuk menjadi hukum di negaranya
4.
Manfaat
Kita dapat
mengetahui bahwa syariat islam itu memenuhi unsur-unsur kehidupan untuk
menuntun kita ke jalan yang benar dalam segi apapun, misalnya ekonomi, hukum,
ilmu pengetahuan, dll
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syariah Islam Dalam Kehidupan
Syariah adalah ketentuan-ketentuan
agama yang merupakan pegangan bagi manusia di dalam hidupnya untuk meningkatkan
kwalitas hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat mencapai
keridhoan Allah SWT yang dirumuskan dalam Al-Qur’an, yaitu :
1. Surat
Asy-Syura ayat 13 Artinya :
شَرَعَ لَكُم
مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا
وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا
تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ
اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah
mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kamu wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya) (Quran
surat Asy-Syura ayat 13).
2. Surat
Asy-Syura ayat 21 Artinya :
أَمْ لَهُمْ شُرَكاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ ما لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَ إِنَّ الظَّالِمينَ لَهُمْ عَذابٌ أَليمٌ
Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diijinkan Allah ? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Allah tentukanlah mereka dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu akan memperoleh azab yang pedih. (Qur’an Surat Asy-Syura Ayat : 21).
3. Surat
Al-Jatsiyah ayat 18 Artinya :
ثُمَّ جَعَلْناكَ عَلى شَريعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْها وَلا تَتَّبِعْ أَهْواءَ الَّذينَ لا يَعْلَمُونَ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas syariat
(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Qur’an Surat
Al-Jatsiyah ayat : 18).
Ketentuan-ketentuan sebagaimana
dirumuskan dalam syariah, wajib dipatuhi. Orang Islam yakin bahwa ketentuan
Allah SWT yang terdapat dalam syariah itu adalah ketentuanm Allah SWT yang
bersifat universal, oleh karena itu merupakan hukum bagi setiap komponen dalam
satu sistem. Hal ini berarti bahwa setiap ketentuan yang ditinggalkannya atau
dilanggar bukan saja akan merusak lingkungannya tetapi juga akan menghilangkan
fungsi parameter dalam komponen atau fungsi komponen dalam sisten. Sebagai
contoh, seseorang menyalahi janji, berdusta, zina, mencuri, korupsi, dan lain-lain.
Dalam syariah Islam ada istilah rukshoh (keringanan) apabila seseorang tidak
dapat melaksanakan kewajibannya secara normal, maka ia boleh melaksanakannya
dengan cara lain sesuai dengan kekuatan, kemungkinan, dan kondisi, seperti
sholat sambil duduk.
B. Ruang Lingkup Syariah Islam
Ruang lingkup syariah lain mencakup
peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Ibadah,
yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT
(ritual), yang terdiri dari :
a.
Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan
shalat, zakat, puasa, dan haji.
b.
Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rukun Islam.
1)
Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu,
mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja, adzan,
qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan
mayit, dan lain-lain.
2)
Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu,
sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.
2. Muamalah,
yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal
tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang,
pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan,
pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah,
titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.
3. Munakahat,
yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam
hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya:
perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak,
pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari suami yang wafat, meminang,
khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain.
4. Jinayat,
yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat,
pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian
dan lain-lain.
5. Siyasa,
yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya :
ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun
(tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab
sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.
6. Akhlak,
yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu,
(rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani),
birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
7. Peraturan-peraturan
lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan
kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.
C.
Sumber-sumber
Syariah
1. Al-Qur’an, kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang
yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist
(As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap
hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu
(Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan
hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
D. Klasifikasi Syariah
Syariah dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1
Wajib (Ijab), yaitu suatu ketentuan yang menurut
pelaksanaannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan
mendapat dosa.
2
Haram, yaitu suatu ketentuan apabila ditinggalkan
mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat dosa. Contohnya : zinah,
mencuri, membunuh, minum-minuman keras, durhaka pada orang tua, dan lain-lain.
3
Sunnah (Mustahab), yaitu suatu ketentuan apabila
dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
4
Makruh (Karahah), yaitu suatu ketentuan yang
menganjurkan untuk ditinggalkannya suatu perbuatan; apabila ditinggalkan
mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak berdosa. Contohnya : merokok,
makan bau-bauan, dan lain-lain.
E. Ibadah Sebagai Bagian Dari Syariah
Syariah mengatur hidup manusia
sebagai hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan,
ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan
ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh Syariah Islam. Esensi
ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan
kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Dengan
demikian salah satu bagian dari syariah adalah ibadah.
Secara umum Ibadah berarti mencakup semua
perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Ibadah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan tugas hidup manusia.
Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Adz-Dzariyah ayat 56 yang
berbunyi : Artinya : “Dan aki tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku” (Adz-Dzariyat : 56).
Secara khusus Ibadah berarti
perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT dan yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti shalat, dzikir, puasa, dan lain-lain.
Landasan dasar pelaksanaan syariah adalah aqidah (keimanan). Dengan aqidah yang
kuat maka syariah dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah
SWT.
F. Kerancuan
persepsi tentang Syari’at Islam dalam era Globalisasi
Umat Islam
berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syari’at Islam. Ada yang
mengatakan syari’at adalah aturan-aturan yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Sebagian lain, melihat apa yang tercantum dalam kitab-kitab fikih sebagai
syari’at. Pada hakikatnya, syari’at Islam adalah tiap perkara yang telah
ditentukan oleh Allah Swt untuk hamba-Nya, yang berupa hukum-hukum ‘amaliah
syari’ah ( seperti cara beribadah dan cara bertransaksi ), hukum-hukum
pernikahan, hukum-hukum kriminal dan yang lainnya, karena keseluruhan misi dari
hukum-hukum tersebut adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan hamba-Nya.
Akan tetapi,
kerancuan persepsi syari’at Islam dalam negara Indonesia ketika diterapkan
sebagai hukum negara, secara garis besar adalah terangkum dalam dua perkara,
yang pertama diarahkan langsung pada konsep syari’at itu sendiri, sedangkan
yang kedua ditujukan pada perkara yang diluar konsep.
Kerancuan
persepsi yang ditujukan pada konsep syari’at Islam, berkisar pada dua perkara,
yaitu :
a.
Syari’at Islam dan persepsi diskriminasi terhadap minoritas
Persepsi ini
sebenarnya tak akan menjadi kendala, kalau kita pahami secara benar ajaran
Islam. Kekhawatiran terjadinya diskriminasi terhadap kelompok minoritas ( yang
memang jumlah muslim Indonesia paling banyak ) tak akan pernah terjadi, karena
esensi dari syari’at Islam itu adalah sebagai penopang, dan keharusan
penerapannya dikarenakan dua sudut pandang:
a)
Sudut
pandang ideologi : sasaran dari hal ini adalah seluruh muslim, dimana mereka
semua harus beriman pada Allah Swt, iman kepada Rasul Saw, Al-Qur’an dan
mengikuti ajaran yang dibawa Rasul Saw.
b)
Sudut
pandang politik dan hukum : hal ini terjalin atas kerjasama pemerintah dan
seluruh masyarakat yang dibangun dalam bingkai keadilan. Sasaran dari hal ini
adalah setiap orang yang masuk dalam wilayah kekuasan negara tersebut dan telah
mengakui kepemimpinan kepala negaranya. Dalam hal ini sasarannya adalah kepada
semua masyarakat, tanpa membedakan ideologi dan agama yang dipeluk.
Islam juga
punya kebijakan, jika mereka datang kepada mahkamah Islam untuk minta dihukumi,
maka sebagai peradilan atau kehakiman muslim boleh menghukumi mereka dengan
hukum Islam atau mengembalikan pada hukum mereka sendiri, jika telah kita
tunjukkan hukum Islam pada mereka, maka untuk langkah selanjutnya diserahkan
kembali pada mereka, untuk ditindak-lanjuti atau tidaknya. Kebijakan ini adalah
sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Hanafi dan Syafi’i.
Al-Qur’an
sendiri juga telah menyinggung konsep ini dalam surat al-Maidah : 42 :
“Jika mereka (orang Yahudi)
datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tak akan memberi madlarat sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan
perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu diantara mereka dengan adil,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ketika mereka datang dan meminta
keputusan kepada kehakiman Islam, maka hakim wajib menghukumi dan mereka
diharuskan patuh dengan keputusan yang ada dalam syari’at Islam.
b. Syari’at
Islam dan persepsi dogmatism
Anggapan
bahwa syari’at Islam tak relevan dengan dinamika kehidupan, sebenarnya hal ini
adalah tuduhan lama yang dilontarkan oleh orientalis yang berusaha menyentuh
kesakralan bahasa langit ( baca : wahyu Allah Swt ) yang sekarang diadopsi oleh
sebagian pemikir Islam. Kekahwatiran ini sangat lemah, dari berbagai sudut
pandang. Prof. Dr. Said Ramadan Buti membantah secara akurat tuduhan ini,
beliau memaparkan dalam uraian panjangnya yang kami sederhanakan dalam uraian
dibawah ini :
“Dinamika
adalah perubahan dari suatu bentuk kebentuk yang lain.“ Artinya segala sesuatu
itu tidak tetap dalam suatu bentuk tertentu, karena adanya pergerakan yang
continue. Sampel perubahan ini bisa kita temukan dalam tubuh manusia yang
tersusun dari berbagai organ. Tubuh manusia sekarang adalah bukan tubuh manusia
yang kemarin. Pakar filosof klasik dan ilmuwan kontemporer telah merumuskan dan
menyepakati bahwa Dinamika( perubahan) hanya terjadi sebatas material alam,
bukan dalam sistemnya.”
Bertolak
dari rumusan diatas, bila kita analisa alam, akan kita dapati bahwa air, debu,
bebatuan dan material alam yang lain mengalami perubahan, namun sebaliknya bila
kita tengok sistem yang mengatur rotasi alam, yang teraplikasi dalam pergantian
gerak cakrawala, rotasi bumi, pembagian waktu menjadi tahun, bulan, hari,
siang, malam serta sistem alam yang lain, tentu akan kita dapati bahwa sistem
itu tak berubah. Heroklid filosuf Yunani yang hidup pada abad 6 SM, telah
menegaskan : “ Bahwa kita tidak akan mandi dua kali dalam satu sungai dengan
air yang sama, karena air itu mengalir.“
Apa yang
ditegaskan Heroklid dan dirumuskan oleh filosuf serta ilmuan yang lain adalah
senada dengan penegasan Al-Qur’an ( surat Al-Ahzab : 62 )
“Sebagai
sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu),
dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.“
Problematika
timbul bertolak dari dinamika alam itu sendiri, dimana Tuhan sebagai pencipta
alam tentunya menurunkan bahasa langit-Nya terhadap manusia agar manusia bisa
melakukan interaksi dengan alam selaras dengan perintah dan larangan yang telah
digariskan. Sedangkan pada satu sisi alam mengalami dinamika, selalu berubah
dan tetap, sedangkan pada sisi lain, bahasa langit bersifat statis tidak
dinamis. Jadi akan timbul kepincangan disini jika bahasa langit tetap
dipaksakan eksis dalam mengatur dinamika dunia.
Lalu
benarkah Syari’at Islam itu terkait dengan dinamika material dunia? Atau ia
terkait dengan sistemnya?
Dalam
kehidupan kita mengenal 2 sistem, yaitu sistem alam (Nidham al-kaun) dan sistem
syari’at (Nidham al-syari’at). Orientasi dari sistem alam adalah sebagaimana penjelasan
yang telah kami paparkan diatas, sedangkan untuk sistem yang kedua ( baca :
syari’at ) adalah berupa beberapa aturan yang diorientasikan untuk mengatur
serta melengkapi sistem alam. Kalau kita analisa kandungan dari bahasa langit
tersebut, dengan berbagai pluralitas hukumnya, kita akan sampai pada kesimpulan
bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah satu, yaitu mensejahterakan manusia dan
memberikan lini dalam berinteraksi dengan sistem alam yang telah ditentukan
agar tak keluar jalur.
Konklusinya,
hukum syari’at teraplikasikan dalam dua perkara, pertama hukum yang bersifat
statis, karena terkait dengan kelangsungan dunia dan sunatullah, dan kedua
hukum yang bersifat dinamis, karena terkait dengan proses interaksi yang
terjadi didunia dan kehidupan. Jika kita analisa sumber asal syari’at yang
muttafaq, maka semua hukumnya adalah tetap.
G. Kerancuan
Persepsi pada beberapa masalah tertentu dalam syari’ah Islam
a. Syariat
Islam dan hukum Had
ketika
masalah kebijakan syari’at Islam dalam had digugat, maka untuk mencari titik
temu dalam masalah ini, adalah bukan dalam kajian fiqh dan syari’at Islam, akan
tetapi pada nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai positif
kemanusiaan (humanisme), yang kedua hal ini dianggap sebagi landasan syari’at
Islam dan hukmnya. Dan kita sebagai muslim telah mengetahui bersama, bahwa
syari’at Islam memandang jinayah (tindak kriminal) sebagai kejahatn besar yang
melanggar al-mashalih al-hamsah yang menjadi poros syari’at Tuhan terhadap
hambanya. Bahkan penerapan hukum had ini pada dasarnya adalah lebih merupakan
methodologi edukasi tindakan prefentif dari pada realisasi atau penanganan
pasca kejadian, dia tak lain adalah landasan edukasi penyelamatan bagi masyarakat.
Hal ini akan terbukti kebenarannya dengan beberapa uraian dibawah ini :
1. Dallam penanganan kasus had Islam tidak menganggap cukup hanya dengan
adanya qarinah (tanda-tanda) saja, tapi ahrus berdasar pada bukti yang akurat.
Hal ini adalah upaya mempersempit pelaksanaan hukum had dalam perkara yang
masih praduga. Berbeda dengan kasus yang terkait dengan persengketaan keuangan
dan yang lainnya, dalam masalah ini agama memasukkan qarinah sebagai bahan
acuan menuju pengakuan atau pembuktian, sebagaimana pendapat mayoritas yuris
Islam, seperti Hanafi dan Syafi’i.4 Tuduhan bahwa hukum had dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai sosial adalah pandangan yang tak obyektif,
tetapi subyektif. Karena hanya melihat dari sudut pandang orang yang dijatuhi
hukuman had, tanpa mempertimbangkan akibat atau orang yang dicelakai.
2. Dalam kasus perzinaan, justru akan kita temukan syarat yang ketat sekali.
Yaitu adanya pengakuan yang jelas dari pelaku, atau dengan adanya empat saksi
mata yang melihat secara langsung kejadian tersebut. Dan mayoritas yuris Islam
mensyaratkan, tidak boleh adanya perbedaan dalam pengakuan keempat saksi
tersebut. Ketika syarat tersebut terpenuhi, maka hukum had dilaksanakan,
alasannya adalah bukan karena kelakuan pelaku tersebut saja, akan tetapi adalah
karena sifat buruk yang telah menodai masyarakat. Sehingga hal ini harus segera dicegah dengan hukuman agar tak merembet
membakar moral masyarakat yang lain.
3. Dalam kasus kriminal yang tak ada had nya, maka kebijakan diserahkan pada
hakim muslim dengan batasan tidak boleh melebihi had tertentu. Dan dalam hal
ini harus diselaraskan dengan ruang dan waktu serta nilai-nilai positif semua
masyarakat.
b. Syari’at
Islam dan kebijakan perekonomian
Lebih
lanjut, tentang tuntutan mereka yang menganggap bahwa banyak hukum Islam sudah
tidak relevan dan harus diganti, sebagaimana tuntutan mereka tentang pelegalan
riba dalam hukum ekonomi dengan pertimbangan maslahah, dengan kesimpulan akhir
bahwa sangat tidak pas kalau syari’at Islam diterapkan untuk Indonesia yang sedang
membangun ekonomi, karena Islam mengharamkan riba.
Propaganda
pelegalan riba dalam hukum ekonomi adalah salah fatal, karena sudah sangat
jelas ditegaskan dalam hukum perekonomian bahwa uang tidak bisa dilahirkan dari
uang, tapi uang adalah sesuatu yang terlahir dari manfa’at yang dihasilkan.
Terlebih lagi pengambilan alasan (‘Illat) pengharaman riba adalah karena
bertentangan dengan nilai sosial (‘Irfaq), sehingga mereka berkesimpulan bahwa
yang diharamkan adalah praktek hutang konsumtif saja, tidak pada hutang
produktif. Dengan mengusung asumsi bahwa praktek riba pada zaman jahiliah
adalah hanya pada hutang konsumtif saja.
Analisa
diatas jelas salah, karena jika alasan riba bertolak dari unsur belas kasih,
maka, yang terjadi malah sebaliknya. Justru ketika kita menahan diri dari
memberikan hutang kepada orang yang membutuhkan, itu adalah tindakan yang
sangat bertentangan dengan nilai sosial. Jadi sebenarnya pengharaman riba
adalah berangkat dari aplikasi kaidah perekonomian itu sendiri. Sedangkan nilai-nilai
sosial adalah pesan akhlak yang sangat dianjurkan agama, namun bukan alasan
pengharaman riba. Para Yuris dimasa sahabat dan seterusnya juga tak pernah
satupun dari mereka yang mengatakan bahwa karena alasan nilai sosial maka riba
hanya diharamkan dalam hutang konsumtif saja, tidak pada hutang produktif,
padahal kapabelitas mereka tidak kita ragukan lagi, sebagaimana yang bisa kita
baca dari catatan historis Islam yang banyak disekitar kita.
Anggapan
yang sangat keliru, jika hutang riba di zaman Jahiliah hanya terfokus pada
hutang konsumtif saja, tidak pada hutang produktif. Ini adalah kebodohan yang
sangat, karena dalam realitanya hutang pada zaman Jahiliah adalah sampai pada
puluhan ribu bahkan sampai ratusan ribu dirham, lalu apakah logis kalau hutang
sampai sebanyak itu hanya untuk memenuhi kebutuhan makan minum saja, yang saat
itu keperluan hidup tak melebihi sepuluh dirham.
Yang jelas
berbeda dengan cara hidup orang sekarang yang menuntut serba mewah dalam segala
hal. Riba juga bertentangan dengan konsep maslahah yang telah digariskan oleh
agama, yaitu masalahah yang
telah di nash dalam Al-Qur’an, maslahah yang dianaloqikan dengan maslahah yang
telah di nash dalam Al-Qur’an dan masalahah Mursalah yaitu clear statemen dari adanya dukungan atau larangan
dalam agama, namun masuk dalam maqasid al-khamsah.
c. Syari’at
Islam dan persepsi diskriminasi terhadap kaum wanita
Diskriminasi
ini adalah seputar kewajiban wanita menggunakan pakaian yang bisa menutupi
aurat mereka, yang pada era industri sekarang ini mengharuskan setiap tangan
manusia agar bekerja dan mencurahkan semua tenaganya. Dalam kondisi ini
keberadaan setiap manusia perempuan menjadi sebuah keharusan baginya untuk ikut
berperan serta secara bersama-sama dengan laki-laki, karena mereka (kaum wanita)
adalah bagian dari masyarakat, sehingga jika mereka tetap berpakaian seperti
yang dituntut oleh syari’at Islam maka mereka tidak akan mampu berpartisipasi
bersama kaum laki-laki. Presepsi yang
kedua adalah tuduhan bahwa busana muslimah itu dianggap menghambat kebangkitan
logika, kultur dan sosial. Jadi
harus segera diganti dengan pakaian yang bebas tidak terikat.
Kedua
persepsi ini keduanya mengusung alasan yang salah, karena dalam kasus pertama,
banyak kita temukan ribuan bahkan jutaan pemuda pengangguran yang
berlalu-lalang. Jika benar pada era industri ini mengharuskan kerja total semua
lapisan masyarakat baik laki-laki maupun wanita, maka pemandangan (jutaan
pengangguran) itu tidak akan terlihat. Kasus ini akan berbeda ketika kita
melirik gaya hidup matrialisme yang dianut bangsa eropa, dimana seorang kepala
keluarga tidak ada beban nafkah terhadap keluarganya, baik kepada anak
perempuan maupun isteri. Gaya hidup seperti ini tidak bisa kita jadikan
standart untuk diterapkan dalam dunia Islam, yang telah memiliki kebijakan
dalam urusan nafkah tersendiri.
Tidak ada
satu pun pakar perancang dan pembuat pakaian yang mengatakan bahwa pakaian itu
mempengaruhi kecerdasan, jadi sangat mengada-ada persepsi kedua diatas.
Terlebih lagi bila kita lihat realita, banyak sekali kita temukan dalam para
mahasiswi yang berbusana muslim lebih pandai dari pada teman-temannya yang
menggunakan pakaian bebas (tak menutup aurat).
H.
Menerapkan Syariat Islam di
Bidang Sosial, Budaya dan Pendidikan
1. MUKADIMAH
Salah satu kata kunci dalam kehidupan
sosial budaya dan juga sangat
dipentingkan dalam dunia pendidikan adalah memahami setiap terminologi
yang dipergunakan. Mengetahui batasan arti dari suatu terminologi
menurut Imam Ibnu Taimiyah, memang adalah suatu hal yang sangat
diperlukan. Bahkan menurut beliau pengetahuan akan hal ini bagian dari
kewajiban agama yang sebagiannya berkategori wajib ‘ain atau wajib
kifayah. Untuk itulah Allah mencela orang-orang yang tidak mementingkan
pengetahuan tentang hal itu sebagaimana tersebut dalam surat at-Taubah
ayat 97.
dipentingkan dalam dunia pendidikan adalah memahami setiap terminologi
yang dipergunakan. Mengetahui batasan arti dari suatu terminologi
menurut Imam Ibnu Taimiyah, memang adalah suatu hal yang sangat
diperlukan. Bahkan menurut beliau pengetahuan akan hal ini bagian dari
kewajiban agama yang sebagiannya berkategori wajib ‘ain atau wajib
kifayah. Untuk itulah Allah mencela orang-orang yang tidak mementingkan
pengetahuan tentang hal itu sebagaimana tersebut dalam surat at-Taubah
ayat 97.
Menurut Ibnu Taimiyah batasan terminologi itu
berkaitan dengan tiga hal
yaitu terminologi syariat, terminologi bahasa dan terminologi sosial.
Mengetahui perbedaan antara ketiganya dalam konteks batasan terminologi
juga sangat dipentingkan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami
suatu terminologi, misalnya terminologi shalat, zakat, puasa dan haji
mempunyai arti sendiri. Yang bila hanya berhenti pada terminologi
bahasa, tentu tidak merealisasi rukun Islam sebab itu semua adalah masuk
dalam terminologi syariat.
yaitu terminologi syariat, terminologi bahasa dan terminologi sosial.
Mengetahui perbedaan antara ketiganya dalam konteks batasan terminologi
juga sangat dipentingkan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami
suatu terminologi, misalnya terminologi shalat, zakat, puasa dan haji
mempunyai arti sendiri. Yang bila hanya berhenti pada terminologi
bahasa, tentu tidak merealisasi rukun Islam sebab itu semua adalah masuk
dalam terminologi syariat.
2. MAKNA
SYARIAT DALAM TINJAUAN AGAMA
Syariat
adalah sebuah terminologi yang disebutkan oleh Al-Qur`an yang
diturunkan dalam bahasa Arab. Ia sekaligus menyambungkan sejarah
agama-agama yang dibawa oleh para Rasul dan ditutup oleh kerasulan Nabi
Muhammad (asy-Syura: 13). Pengertian syariat secara bahasa tentunya
harus dirujukkan kedalam bahasa Al-Qur`an bukan kedalam bahasa lokal
yang dapat memunculkan penafsiran yang mesum seperti yang dilakukan oleh
Darmo Gandul dan Gatoloco. Secara bahasa ia berarti at-Thariqah.
Melaksanakan syariat artinya mengikuti jalan yang terang. Dari sini,
menurut ar-Rogib al-Asfahani, ungkapan ini dipinjam untuk menjadi
thariqah Ilahiyah. Secara terminologi, thariqah mempunyai dua arti,
yaitu :
diturunkan dalam bahasa Arab. Ia sekaligus menyambungkan sejarah
agama-agama yang dibawa oleh para Rasul dan ditutup oleh kerasulan Nabi
Muhammad (asy-Syura: 13). Pengertian syariat secara bahasa tentunya
harus dirujukkan kedalam bahasa Al-Qur`an bukan kedalam bahasa lokal
yang dapat memunculkan penafsiran yang mesum seperti yang dilakukan oleh
Darmo Gandul dan Gatoloco. Secara bahasa ia berarti at-Thariqah.
Melaksanakan syariat artinya mengikuti jalan yang terang. Dari sini,
menurut ar-Rogib al-Asfahani, ungkapan ini dipinjam untuk menjadi
thariqah Ilahiyah. Secara terminologi, thariqah mempunyai dua arti,
yaitu :
1) Jalan
apapun yang dimudahkan oleh Allah dan kemudian dilalui oleh
umat manusia yang akan membawa efek kemaslahatan bagi umat manusia serta kemakmuran negeri.
umat manusia yang akan membawa efek kemaslahatan bagi umat manusia serta kemakmuran negeri.
2) Apa
saja yang ditentukan Allah dalam agamanya dan apa saja yang
diperintahkan-Nya agar manusia dapat memilih karena adanya perbedaan
syariat-syariat agama karena terjadi nashikh (penghapusan) atas agama
sebelumnya.
diperintahkan-Nya agar manusia dapat memilih karena adanya perbedaan
syariat-syariat agama karena terjadi nashikh (penghapusan) atas agama
sebelumnya.
Syariat juga
disebut dengan syariat sebab ditamsilkan dengan ungkapan
yang berkaitan dengan syariat air sebab siapa pun yang mereguknya dengan
benar maka akan hilanglah dahaganya dan bahkan dengan air itu ia bisa
bersuci.
yang berkaitan dengan syariat air sebab siapa pun yang mereguknya dengan
benar maka akan hilanglah dahaganya dan bahkan dengan air itu ia bisa
bersuci.
Agama Islam
melalui kitab sucinya Al-Qur`an menyampaikan beberapa ayat yang secara
eksplisit menyebutkan tentang syariat misalnya dalam surat
al-Jatsiyah ayat 18 dan surat asy-Syura ayat 13. Sekalipun ayat-ayat
tentang ini berada dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah yang secara prinsip
berkaitan dengan masalah akidah, sehingga nanti datanglah seorang ulama
bernama Abu Bakar Muhammad bin Husain al-Ajuri (wafat pada tahun 360 H) menulis kitab dengan judul Asy-Syariat yang keseluruhan pembahasan
adalah masalah akidah.
al-Jatsiyah ayat 18 dan surat asy-Syura ayat 13. Sekalipun ayat-ayat
tentang ini berada dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah yang secara prinsip
berkaitan dengan masalah akidah, sehingga nanti datanglah seorang ulama
bernama Abu Bakar Muhammad bin Husain al-Ajuri (wafat pada tahun 360 H) menulis kitab dengan judul Asy-Syariat yang keseluruhan pembahasan
adalah masalah akidah.
Dari
pengertian tentang syariat di atas nampak jelas bahwa terminologi
syariat dalam pengertian agama mencakup bukan hanya masalah hukum Islam
seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga otomatis berkaitan dengan
potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau mengejar-ngejar orang
untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak lainnya. Tetapi, ia
juga sangat berkaitan dengan masalah sosial budaya dan pendidikkan.
syariat dalam pengertian agama mencakup bukan hanya masalah hukum Islam
seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga otomatis berkaitan dengan
potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau mengejar-ngejar orang
untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak lainnya. Tetapi, ia
juga sangat berkaitan dengan masalah sosial budaya dan pendidikkan.
Syariat juga
berkaitan dengan pakaian dan asesoris yang dikenakan
sebagaimana yang ditampilkan kajian DR. Muhammad Abdul Aziz Amru dalam
kitabnya Al-Libas wa Zinah fi Syariah al-Islamiyah.
sebagaimana yang ditampilkan kajian DR. Muhammad Abdul Aziz Amru dalam
kitabnya Al-Libas wa Zinah fi Syariah al-Islamiyah.
Syariat juga
berkaitan dengan upaya untuk merealisasikan kemaslahatan
hidup seperti yang disampaikan DR. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam
kitabnya Dhawabith al-Mashlahah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat juga
ternyata sangat mementingkan keleluasaan hidup dan menjauhkannya dari
yang menyulitkan sebagaimana yang tampak jelas dalam kajian DR. Shalih
bin Abdullah bin Humaid dalam kitabnya Raf’ul al Haraj fi Syariah
al-Islamiyah.
hidup seperti yang disampaikan DR. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam
kitabnya Dhawabith al-Mashlahah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat juga
ternyata sangat mementingkan keleluasaan hidup dan menjauhkannya dari
yang menyulitkan sebagaimana yang tampak jelas dalam kajian DR. Shalih
bin Abdullah bin Humaid dalam kitabnya Raf’ul al Haraj fi Syariah
al-Islamiyah.
3. MAKNA
SYARIAT DALAM PENDEKATAN SOSIAL
Kehidupan
sosial umat manusia di manapun mereka berada pastilah merujuk pada tatanan,
untuk mengharmoniskan kehidupan itu dan untuk menjaganya agar tidak lepas
kendali sehingga hubungan sosial tidak menjadi kontra produktif tetapi semakin
memunculkan makna kebahagiaan dan kemakmuran.
Demikian itu
jugalah makna syariat dalam konteks sosial. Para ulama
fikih dan ushul fikih dimulai oleh Imam asy-Syafi’i dan kemudian juga
tampil dalam kajian-kajian fikih kontemporer, telah memunculkan berbagai
kaidah yang mereka kongklusikan dari dalil-dalil Al-Qur`an, Sunnah,
ijma’ dan qiyas. Kaidah-kaidah yang sangat menerangkan makna syariat
dalam konteks sosial misalnya:
fikih dan ushul fikih dimulai oleh Imam asy-Syafi’i dan kemudian juga
tampil dalam kajian-kajian fikih kontemporer, telah memunculkan berbagai
kaidah yang mereka kongklusikan dari dalil-dalil Al-Qur`an, Sunnah,
ijma’ dan qiyas. Kaidah-kaidah yang sangat menerangkan makna syariat
dalam konteks sosial misalnya:
1)
Kaidah tentang lima prinsip, yaitu prinsip keharusan
menjaga agama,
akal, jiwa, keturunandan harta.
akal, jiwa, keturunandan harta.
2)
Kaidah hukum taklifi itu bukan dua saja halal dan
haram, melainkan
ada juga yang sunah, makruh bahkan ada yang mubah
ada juga yang sunah, makruh bahkan ada yang mubah
3)
Anjuran untuk terus dapat berijtihad dan mentajdid
4)
Prinsip tentang kesesuaian syariat dengan realitas,
juga bahwa
syariat itu berdiri atas bangunan kemudahan dan mementingkan pentahapan
syariat itu berdiri atas bangunan kemudahan dan mementingkan pentahapan
5)
Kaidah tentang urf (adat) sebagai rujukan syariat.
6)
Kaidah tentang amal dan atau perbuatan penduduk
Madinah, seperti
dipergunakan oleh Imam Malik.
dipergunakan oleh Imam Malik.
7)
Kaidah tentang mempertimbangkan kedaruratan dan
mementingkan
kemashlahatan
kemashlahatan
8)
Kaidah tentang syura (bermusyawarah)
9)
Kaidah tentang amr ma’ruf nahyi munkar
10) Kaidah
tentang tolong menolong dalam kebajikan dan takwadan bukan
dalam dosa dan melanggar hukum
dalam dosa dan melanggar hukum
11) Kaidah
tentang fikih dakwah
12) Kaidah
tentang fikih muamalah (hubungan sosial)
13) Kaidah
tentang rabbaniyah dan syumuliyah syariat Islamiah
14) Kaidah
tentang menegakkan keadilan dan egalitarianisme dihadapan
hukum.
hukum.
Dengan
pendekatan sosial ini, syariat dapat semakin membuktikan makna
bahwa keberadaannya adalah sebagai rahmat bagi kehidupan (al-Anbiya:
107), bahwa syariat itu bahkan dapat “membuat hidup jadi lebih hidup”
(al-Anfal: 24, al-Baqarah: 179), bahwa syariat adalah bukan makhluk
asing di tengah kehidupan manusia, tetapi merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kemanusiaan untuk kemajuan dan kemashlahatan mereka
(al-Jum’ah:2), bahkan ia sangat peduli dan bersimpati dengan
kemanusiaan (at-Taubah: 128), sehingga karena demikian positifnya
syariat bagi kehidupan sosial masyarakat manusia, logis saja bila
kemudian Allah “Zat yang Maha Rahman dan Rahim itu”, meminta ketaatan
umat manusia untuk melaksanakan syariat-Nya (al-Ahzab: 36) bukan dalam
konteks pemaksaan apalagi teror, sebab memang telah nyata perbedaan
antara yang baik dan benar dengan yang salah, buruk dan tidak bermanfaat
(al-Baqarah: 256).
bahwa keberadaannya adalah sebagai rahmat bagi kehidupan (al-Anbiya:
107), bahwa syariat itu bahkan dapat “membuat hidup jadi lebih hidup”
(al-Anfal: 24, al-Baqarah: 179), bahwa syariat adalah bukan makhluk
asing di tengah kehidupan manusia, tetapi merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kemanusiaan untuk kemajuan dan kemashlahatan mereka
(al-Jum’ah:2), bahkan ia sangat peduli dan bersimpati dengan
kemanusiaan (at-Taubah: 128), sehingga karena demikian positifnya
syariat bagi kehidupan sosial masyarakat manusia, logis saja bila
kemudian Allah “Zat yang Maha Rahman dan Rahim itu”, meminta ketaatan
umat manusia untuk melaksanakan syariat-Nya (al-Ahzab: 36) bukan dalam
konteks pemaksaan apalagi teror, sebab memang telah nyata perbedaan
antara yang baik dan benar dengan yang salah, buruk dan tidak bermanfaat
(al-Baqarah: 256).
Dengan
pendekatan ini, syariat akan merealisasikan bukan saja kesalehan
verbal, formal, atau individual melainkan akan memunculkan kesalehan
esensial, eksistensialdan sosial sekaligus. Bahkan kepedulian realisasi
tentang masalah sosial oleh Rasulullah Saw dijadikan sebagai tolok ukur
adanya kesalehan individual.
verbal, formal, atau individual melainkan akan memunculkan kesalehan
esensial, eksistensialdan sosial sekaligus. Bahkan kepedulian realisasi
tentang masalah sosial oleh Rasulullah Saw dijadikan sebagai tolok ukur
adanya kesalehan individual.
Dan dengan
pendekatan normatif aplikatif seperti di atas, kita mempunyai
pedoman dasar, bahwa syariat memang sangat berhubungan dengan faktor
sosial budaya, ia berhubungan dengannya dengan sangat erat, bahkan ia
pro-aktif berinteraksi dengan budaya manusia, bahkan ia pun menciptakan
kebudayaan baru di atas bingkai dan landasan syariat. Sehingga dahulu
para ulama memunculkan suatu ungkapan yang sangat berarti: “Bila di situ
ada kemaslahatan, maka di situ pulalah letak syariat.”
pedoman dasar, bahwa syariat memang sangat berhubungan dengan faktor
sosial budaya, ia berhubungan dengannya dengan sangat erat, bahkan ia
pro-aktif berinteraksi dengan budaya manusia, bahkan ia pun menciptakan
kebudayaan baru di atas bingkai dan landasan syariat. Sehingga dahulu
para ulama memunculkan suatu ungkapan yang sangat berarti: “Bila di situ
ada kemaslahatan, maka di situ pulalah letak syariat.”
4. PENERAPAN
SYARIAT DALAM BIDANG PENDIDIKKAN
Islam dengan
syariatnya, adalah satu-satunya agama yang memulai ungkapan ajarannya dengan
perintah untuk membaca (iqra’). Bukan sekadar membaca, bahkan ia adalah membaca
yang dilandasi oleh ideologi dan etos “dengan nama Rabbmu” (bismirabbika).
Syariat yang
sarat dengan prinsip pendidikan Islam ini kemudian
dipertegas oleh berbagai firman Allah lainnya yang menegaskan bahwa
tugas utama kerasulan dan karenanya salah satu inti dasar dari syariat
Islam yang harus diterapkan adalah masalah pendidikan. Allah berfirman:“Allahlah yang mengutus kepada mereka, seorang Rasul yang dating dari keluarga mereka sendiri, Rasul ini membacakan ayat-ayat Rabb mereka,
mensucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka ajaran al-Kitab
(Al-Qur`an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). (al-Jum’ah :2)”
dipertegas oleh berbagai firman Allah lainnya yang menegaskan bahwa
tugas utama kerasulan dan karenanya salah satu inti dasar dari syariat
Islam yang harus diterapkan adalah masalah pendidikan. Allah berfirman:“Allahlah yang mengutus kepada mereka, seorang Rasul yang dating dari keluarga mereka sendiri, Rasul ini membacakan ayat-ayat Rabb mereka,
mensucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka ajaran al-Kitab
(Al-Qur`an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). (al-Jum’ah :2)”
Dan begitu
banyak ayat dan hadits lain yang menetapkan pentingnya
syariat diterapkan dalam pendidikan.
syariat diterapkan dalam pendidikan.
Syariat Islam
yang berkaitan dengan masalah pendidikan ini, kemudian
secara atraktif direalissasikan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai
peristiwa, seperti ketika beliau menjadikan tebusan Perang Badar melalui
pengajaran pemberantasan buta huruf, beliau pun mengizinkan Zaid bin
Tsabit r.a. untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani, beliau pun
mengizinkan Yusuf bin Kabdah ats-Tsaqafi mempelajari ilmu kedokteran di
Persia. Selain itu tentu saja aktivitas langsung beliau mengajari para
sahabat laki-laki maupun wanita, baik di masjid, di rumah, di kebun,
maupun di tempat-tempat umum lainnya.
secara atraktif direalissasikan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai
peristiwa, seperti ketika beliau menjadikan tebusan Perang Badar melalui
pengajaran pemberantasan buta huruf, beliau pun mengizinkan Zaid bin
Tsabit r.a. untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani, beliau pun
mengizinkan Yusuf bin Kabdah ats-Tsaqafi mempelajari ilmu kedokteran di
Persia. Selain itu tentu saja aktivitas langsung beliau mengajari para
sahabat laki-laki maupun wanita, baik di masjid, di rumah, di kebun,
maupun di tempat-tempat umum lainnya.
Paradigma ini
kemudian memunculkan lompatan budaya yang luar biasa,
dengan munculnya suatu generasi yang sangat terpelajar tetapi sangat
religius, mereka melaksanakan syariat Islam sambil memiliki credo
rahmatan lil alamin.
dengan munculnya suatu generasi yang sangat terpelajar tetapi sangat
religius, mereka melaksanakan syariat Islam sambil memiliki credo
rahmatan lil alamin.
Etos
penerapan syariat dalam bidang pendidikan ini sungguh sangat
manusiawi. Ia terus berlangsung dalam berbagai inovasi, sejak zaman
sahabat, tabi’in, hingga ke masa-masa keemasan budaya dan intelektual
Islam, dalam berbagai bidang dan aktifitas kependidikan. Dan itu terus
berlangsung hingga saat ini.
manusiawi. Ia terus berlangsung dalam berbagai inovasi, sejak zaman
sahabat, tabi’in, hingga ke masa-masa keemasan budaya dan intelektual
Islam, dalam berbagai bidang dan aktifitas kependidikan. Dan itu terus
berlangsung hingga saat ini.
Dari
perjalanan sejarah interaksi umat dengan penerapan syariat dalam
bidang pendidikan, didapatkan beberapa hal yang merupakan kaidah-kaidah
penerapan syariat Islam dalam bidang pendidikan ke depan, antara lain:
bidang pendidikan, didapatkan beberapa hal yang merupakan kaidah-kaidah
penerapan syariat Islam dalam bidang pendidikan ke depan, antara lain:
1) Adanya
kaidah-kaidah tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Kaidah itu
kini semakin ditekuni untuk diwujudkan dalam bentuk aktifitas pendidikan
yang syar’i.
kini semakin ditekuni untuk diwujudkan dalam bentuk aktifitas pendidikan
yang syar’i.
2) Adanya
interaksi dengan berbagai budaya pendidikan yang asalnya tidak
muncul dari dunia Islam.
muncul dari dunia Islam.
3) Adanya
buku dan lembaga-lembaga pendidikkan Islam yang sangat beragam
yang telah sangat berpengalaman dalam penerapan syariat Islam dalam
bidang pendidikan.
yang telah sangat berpengalaman dalam penerapan syariat Islam dalam
bidang pendidikan.
Hal-hal semacam
itulah yang diharapkan akan memudahkan menanggulangi hambatan-hambatan
penerapan syariat dalam bidang pendidikan seperti faktor sekularisme dan
lain-lain.
Adanya
pendidikan yang berlandaskan syariat baik dalam bentuk teori,
buku kurikulum, apalagi lembaga pendidikan yang berlandaskan syariat,
tentulah sangat diperlukan sebagai sarana mempersiapkan kader-kader yang
akan melanjutkan kehidupan di bawah naungan syariat. Sebab kaidah baku
yang telah disepakati para ulama, tetaplah berbunyi: “Sesuatu yang hanya
dengan itulah maka kewajiban dapat direalisasikan, maka sesuatu itu pun
berkategori hukum wajib.”
buku kurikulum, apalagi lembaga pendidikan yang berlandaskan syariat,
tentulah sangat diperlukan sebagai sarana mempersiapkan kader-kader yang
akan melanjutkan kehidupan di bawah naungan syariat. Sebab kaidah baku
yang telah disepakati para ulama, tetaplah berbunyi: “Sesuatu yang hanya
dengan itulah maka kewajiban dapat direalisasikan, maka sesuatu itu pun
berkategori hukum wajib.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syariah Islam memberikan tuntunan
hidup khususnya pada umat Islam dan umumnya pada seluruh umat manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Muamalah dalam syariah Islam bersifat
fleksibel tidak kaku. Dengan demikian Syariah Islam dapat terus menerus
memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam menyongsong setiap perubahan
yang terjadi di masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Syariah Islam dalam
muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi semua pihak, menghindari
saling merugikan, mencegah perselisihan dan kesewenangan dari pihak yang kuat
atas pihak-pihak yang lemah. Dengan dikembangkannya muamalah berdasarkan
syariah Islam akan lahir masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang penuh
rahmat.
Islam adalah sekaligus syariat yang
dalam dirinya terkandung kepedulian
sangat tinggi dengan masalah sosial budaya dan pendidikan. Keharusan
melaksanakan Islam secara kaffah, niscaya menjadi pijakanyang sangat
kokoh akan keharusan keberadaan syariat pada lapangan sosial budaya dan
pendidikan. Lebih dari itu sejarah umat yang telah terukir berabad-abad
lamanya, baik pada skala lokal, nasional maupun global, ternyata juga
membuktikan bahwa syariat Islam itu memang rahmatan lil alamindan
karenanya pastilah ia dapat dan perlu terwujud pada tataran sosial
budaya dan pendidikan.
sangat tinggi dengan masalah sosial budaya dan pendidikan. Keharusan
melaksanakan Islam secara kaffah, niscaya menjadi pijakanyang sangat
kokoh akan keharusan keberadaan syariat pada lapangan sosial budaya dan
pendidikan. Lebih dari itu sejarah umat yang telah terukir berabad-abad
lamanya, baik pada skala lokal, nasional maupun global, ternyata juga
membuktikan bahwa syariat Islam itu memang rahmatan lil alamindan
karenanya pastilah ia dapat dan perlu terwujud pada tataran sosial
budaya dan pendidikan.