Minggu, 30 November 2014

MAKALAH SYARIAT ISLAM


MAKALAH SYARIAT ISLAM    
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Syariat islam adalah bagian dari kesadaran sejarah Agama Islam di dunia. Syariat islam berkembang dan terus menjadi panduan hukum di berbagai Negara, bukan hanya Indonesia yang memakai syariat islam bahkan Negara- Negara besar pun ada yang memakai syariat Islam di negaranya.
Syariah adalah ketentuan-ketentuan agama yang merupakan pegangan bagi manusia di dalam hidupnya untuk meningkatkan kwalitas hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hal itu selain karena syariat islam melengkapi hukum di dunia, syariat islam juga memenuhi persyaratan untuk melindungi manusia atau bisa disebut  HAM. Syariat islam pun tidak hanya meliputi hukum-hukum di dunia tetapi banyak hal di dunia ini seperti ekonomi, pembelajaran, pernikahan, dll
Mungkin pada zaman sekarang manusia sangat memerlukan teknologi contoh nya handphone, komputer, laptop, televisi, dll di era globalisasi ini banyak sekali teknologi-teknologi canggih jadi banyak sekali pekerjaan yang di zamannya membutuhkan waktu yang lumayan lama tapi sekarang hanya dalam hitungan menit, jam, atau pun hari pekerjaan itu bisa terselesaikan.
Akan tetapi di zaman yang sangat modern ini banyak sekali kekurangannya, misalnya orang-orang lebih suka menggunakan cara instan di bandingkan cara di zaman dahulu yang lumayan rumit, dan banyak juga orang-orang di zaman sekarang yang tidak lagi mementingkan akhirat hanya mementingkan duniawi jadi banyak sekali terjadi korupsi dimana-mana, pelecehan seksual, pelanggaran hukum HAM, dll

2.      Rumusan Masalah
A.    Pengertian Syariah Islam Dalam Kehidupan
B.     Ruang Lingkup Syariah
C.     Sumber-Sumber Syariah
D.    Klasifikasi Syariah
E.     Ibadah Sebagai Bagian Dari Syariah
F.      Kerancuan persepsi tentang Syari’at Islam dalam era globalisasi
G.    Kerancuan Persepsi pada beberapa masalah tertentu dalam syari’ah Islam
H.    Menerapkan Syariat Islam di Bid ang Sosial, Budaya dan Pendidikan

3.      Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa banyak pengetahuan kita tentang syariat islam, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang mampu menjadi panduan hidup kita, bahkan ada negara-negara besar di dunia ini yang memakai syariat islam untuk menjadi hukum di negaranya

4.      Manfaat
Kita dapat mengetahui bahwa syariat islam itu memenuhi unsur-unsur kehidupan untuk menuntun kita ke jalan yang benar dalam segi apapun, misalnya ekonomi, hukum, ilmu pengetahuan, dll











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Syariah Islam Dalam Kehidupan
Syariah adalah ketentuan-ketentuan agama yang merupakan pegangan bagi manusia di dalam hidupnya untuk meningkatkan kwalitas hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat mencapai keridhoan Allah SWT yang dirumuskan dalam Al-Qur’an, yaitu :
1.      Surat Asy-Syura ayat 13 Artinya :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kamu wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya) (Quran surat Asy-Syura ayat 13).
2.      Surat Asy-Syura ayat 21 Artinya :
أَمْ لَهُمْ شُرَكاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ ما لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَ إِنَّ الظَّالِمينَ لَهُمْ عَذابٌ أَليمٌ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah ? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah tentukanlah mereka dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih. (Qur’an Surat Asy-Syura Ayat : 21).

3.      Surat Al-Jatsiyah ayat 18 Artinya :
ثُمَّ جَعَلْناكَ عَلىشَريعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْها وَلا تَتَّبِعْ أَهْواءَ الَّذينَ لا يَعْلَمُونَ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Qur’an Surat Al-Jatsiyah ayat : 18).

Ketentuan-ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam syariah, wajib dipatuhi. Orang Islam yakin bahwa ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam syariah itu adalah ketentuanm Allah SWT yang bersifat universal, oleh karena itu merupakan hukum bagi setiap komponen dalam satu sistem. Hal ini berarti bahwa setiap ketentuan yang ditinggalkannya atau dilanggar bukan saja akan merusak lingkungannya tetapi juga akan menghilangkan fungsi parameter dalam komponen atau fungsi komponen dalam sisten. Sebagai contoh, seseorang menyalahi janji, berdusta, zina, mencuri, korupsi, dan lain-lain. Dalam syariah Islam ada istilah rukshoh (keringanan) apabila seseorang tidak dapat melaksanakan kewajibannya secara normal, maka ia boleh melaksanakannya dengan cara lain sesuai dengan kekuatan, kemungkinan, dan kondisi, seperti sholat sambil duduk.
B.     Ruang Lingkup Syariah Islam
Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :
1.      Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual), yang terdiri dari :
a.       Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji.
b.      Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rukun Islam.
1)      Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain.
2)      Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.
2.      Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.
3.      Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya: perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain.
4.      Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.
5.      Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya : ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.
6.      Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
7.      Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.


C.    Sumber-sumber Syariah
1.      Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2.      Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3.      Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
D.    Klasifikasi Syariah
Syariah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1        Wajib (Ijab), yaitu suatu ketentuan yang menurut pelaksanaannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.
2        Haram, yaitu suatu ketentuan apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat dosa. Contohnya : zinah, mencuri, membunuh, minum-minuman keras, durhaka pada orang tua, dan lain-lain.
3        Sunnah (Mustahab), yaitu suatu ketentuan apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
4        Makruh (Karahah), yaitu suatu ketentuan yang menganjurkan untuk ditinggalkannya suatu perbuatan; apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak berdosa. Contohnya : merokok, makan bau-bauan, dan lain-lain.
E.     Ibadah Sebagai Bagian Dari Syariah
Syariah mengatur hidup manusia sebagai hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh Syariah Islam. Esensi ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Dengan demikian salah satu bagian dari syariah adalah ibadah.
Secara umum Ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan tugas hidup manusia. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Adz-Dzariyah ayat 56 yang berbunyi : Artinya : “Dan aki tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz-Dzariyat : 56).
Secara khusus Ibadah berarti perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti shalat, dzikir, puasa, dan lain-lain. Landasan dasar pelaksanaan syariah adalah aqidah (keimanan). Dengan aqidah yang kuat maka syariah dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
F.     Kerancuan persepsi tentang Syari’at Islam dalam era Globalisasi
Umat Islam berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syari’at Islam. Ada yang mengatakan syari’at adalah aturan-aturan yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Sebagian lain, melihat apa yang tercantum dalam kitab-kitab fikih sebagai syari’at. Pada hakikatnya, syari’at Islam adalah tiap perkara yang telah ditentukan oleh Allah Swt untuk hamba-Nya, yang berupa hukum-hukum ‘amaliah syari’ah ( seperti cara beribadah dan cara bertransaksi ), hukum-hukum pernikahan, hukum-hukum kriminal dan yang lainnya, karena keseluruhan misi dari hukum-hukum tersebut adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan hamba-Nya.
Akan tetapi, kerancuan persepsi syari’at Islam dalam negara Indonesia ketika diterapkan sebagai hukum negara, secara garis besar adalah terangkum dalam dua perkara, yang pertama diarahkan langsung pada konsep syari’at itu sendiri, sedangkan yang kedua ditujukan pada perkara yang diluar konsep.
Kerancuan persepsi yang ditujukan pada konsep syari’at Islam, berkisar pada dua perkara, yaitu :


a.      Syari’at Islam dan persepsi diskriminasi terhadap minoritas
Persepsi ini sebenarnya tak akan menjadi kendala, kalau kita pahami secara benar ajaran Islam. Kekhawatiran terjadinya diskriminasi terhadap kelompok minoritas ( yang memang jumlah muslim Indonesia paling banyak ) tak akan pernah terjadi, karena esensi dari syari’at Islam itu adalah sebagai penopang, dan keharusan penerapannya dikarenakan dua sudut pandang:
a)      Sudut pandang ideologi : sasaran dari hal ini adalah seluruh muslim, dimana mereka semua harus beriman pada Allah Swt, iman kepada Rasul Saw, Al-Qur’an dan mengikuti ajaran yang dibawa Rasul Saw.
b)      Sudut pandang politik dan hukum : hal ini terjalin atas kerjasama pemerintah dan seluruh masyarakat yang dibangun dalam bingkai keadilan. Sasaran dari hal ini adalah setiap orang yang masuk dalam wilayah kekuasan negara tersebut dan telah mengakui kepemimpinan kepala negaranya. Dalam hal ini sasarannya adalah kepada semua masyarakat, tanpa membedakan ideologi dan agama yang dipeluk.

Islam juga punya kebijakan, jika mereka datang kepada mahkamah Islam untuk minta dihukumi, maka sebagai peradilan atau kehakiman muslim boleh menghukumi mereka dengan hukum Islam atau mengembalikan pada hukum mereka sendiri, jika telah kita tunjukkan hukum Islam pada mereka, maka untuk langkah selanjutnya diserahkan kembali pada mereka, untuk ditindak-lanjuti atau tidaknya. Kebijakan ini adalah sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Hanafi dan Syafi’i.
Al-Qur’an sendiri juga telah menyinggung konsep ini dalam surat al-Maidah : 42 :
“Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tak akan memberi madlarat sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ketika mereka datang dan meminta keputusan kepada kehakiman Islam, maka hakim wajib menghukumi dan mereka diharuskan patuh dengan keputusan yang ada dalam syari’at Islam.
b.      Syari’at Islam dan persepsi dogmatism
Anggapan bahwa syari’at Islam tak relevan dengan dinamika kehidupan, sebenarnya hal ini adalah tuduhan lama yang dilontarkan oleh orientalis yang berusaha menyentuh kesakralan bahasa langit ( baca : wahyu Allah Swt ) yang sekarang diadopsi oleh sebagian pemikir Islam. Kekahwatiran ini sangat lemah, dari berbagai sudut pandang. Prof. Dr. Said Ramadan Buti membantah secara akurat tuduhan ini, beliau memaparkan dalam uraian panjangnya yang kami sederhanakan dalam uraian dibawah ini :
“Dinamika adalah perubahan dari suatu bentuk kebentuk yang lain.“ Artinya segala sesuatu itu tidak tetap dalam suatu bentuk tertentu, karena adanya pergerakan yang continue. Sampel perubahan ini bisa kita temukan dalam tubuh manusia yang tersusun dari berbagai organ. Tubuh manusia sekarang adalah bukan tubuh manusia yang kemarin. Pakar filosof klasik dan ilmuwan kontemporer telah merumuskan dan menyepakati bahwa Dinamika( perubahan) hanya terjadi sebatas material alam, bukan dalam sistemnya.”
Bertolak dari rumusan diatas, bila kita analisa alam, akan kita dapati bahwa air, debu, bebatuan dan material alam yang lain mengalami perubahan, namun sebaliknya bila kita tengok sistem yang mengatur rotasi alam, yang teraplikasi dalam pergantian gerak cakrawala, rotasi bumi, pembagian waktu menjadi tahun, bulan, hari, siang, malam serta sistem alam yang lain, tentu akan kita dapati bahwa sistem itu tak berubah. Heroklid filosuf Yunani yang hidup pada abad 6 SM, telah menegaskan : “ Bahwa kita tidak akan mandi dua kali dalam satu sungai dengan air yang sama, karena air itu mengalir.“
Apa yang ditegaskan Heroklid dan dirumuskan oleh filosuf serta ilmuan yang lain adalah senada dengan penegasan Al-Qur’an ( surat Al-Ahzab : 62 )
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.“
Problematika timbul bertolak dari dinamika alam itu sendiri, dimana Tuhan sebagai pencipta alam tentunya menurunkan bahasa langit-Nya terhadap manusia agar manusia bisa melakukan interaksi dengan alam selaras dengan perintah dan larangan yang telah digariskan. Sedangkan pada satu sisi alam mengalami dinamika, selalu berubah dan tetap, sedangkan pada sisi lain, bahasa langit bersifat statis tidak dinamis. Jadi akan timbul kepincangan disini jika bahasa langit tetap dipaksakan eksis dalam mengatur dinamika dunia.
Lalu benarkah Syari’at Islam itu terkait dengan dinamika material dunia? Atau ia terkait dengan sistemnya?
Dalam kehidupan kita mengenal 2 sistem, yaitu sistem alam (Nidham al-kaun) dan sistem syari’at (Nidham al-syari’at). Orientasi dari sistem alam adalah sebagaimana penjelasan yang telah kami paparkan diatas, sedangkan untuk sistem yang kedua ( baca : syari’at ) adalah berupa beberapa aturan yang diorientasikan untuk mengatur serta melengkapi sistem alam. Kalau kita analisa kandungan dari bahasa langit tersebut, dengan berbagai pluralitas hukumnya, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah satu, yaitu mensejahterakan manusia dan memberikan lini dalam berinteraksi dengan sistem alam yang telah ditentukan agar tak keluar jalur.
Konklusinya, hukum syari’at teraplikasikan dalam dua perkara, pertama hukum yang bersifat statis, karena terkait dengan kelangsungan dunia dan sunatullah, dan kedua hukum yang bersifat dinamis, karena terkait dengan proses interaksi yang terjadi didunia dan kehidupan. Jika kita analisa sumber asal syari’at yang muttafaq, maka semua hukumnya adalah tetap.
G.    Kerancuan Persepsi pada beberapa masalah tertentu dalam syari’ah Islam
a.      Syariat Islam dan hukum Had
ketika masalah kebijakan syari’at Islam dalam had digugat, maka untuk mencari titik temu dalam masalah ini, adalah bukan dalam kajian fiqh dan syari’at Islam, akan tetapi pada nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai positif kemanusiaan (humanisme), yang kedua hal ini dianggap sebagi landasan syari’at Islam dan hukmnya. Dan kita sebagai muslim telah mengetahui bersama, bahwa syari’at Islam memandang jinayah (tindak kriminal) sebagai kejahatn besar yang melanggar al-mashalih al-hamsah yang menjadi poros syari’at Tuhan terhadap hambanya. Bahkan penerapan hukum had ini pada dasarnya adalah lebih merupakan methodologi edukasi tindakan prefentif dari pada realisasi atau penanganan pasca kejadian, dia tak lain adalah landasan edukasi penyelamatan bagi masyarakat. Hal ini akan terbukti kebenarannya dengan beberapa uraian dibawah ini :
1.      Dallam penanganan kasus had Islam tidak menganggap cukup hanya dengan adanya qarinah (tanda-tanda) saja, tapi ahrus berdasar pada bukti yang akurat. Hal ini adalah upaya mempersempit pelaksanaan hukum had dalam perkara yang masih praduga. Berbeda dengan kasus yang terkait dengan persengketaan keuangan dan yang lainnya, dalam masalah ini agama memasukkan qarinah sebagai bahan acuan menuju pengakuan atau pembuktian, sebagaimana pendapat mayoritas yuris Islam, seperti Hanafi dan Syafi’i.4 Tuduhan bahwa hukum had dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sosial adalah pandangan yang tak obyektif, tetapi subyektif. Karena hanya melihat dari sudut pandang orang yang dijatuhi hukuman had, tanpa mempertimbangkan akibat atau orang yang dicelakai.
2.      Dalam kasus perzinaan, justru akan kita temukan syarat yang ketat sekali. Yaitu adanya pengakuan yang jelas dari pelaku, atau dengan adanya empat saksi mata yang melihat secara langsung kejadian tersebut. Dan mayoritas yuris Islam mensyaratkan, tidak boleh adanya perbedaan dalam pengakuan keempat saksi tersebut. Ketika syarat tersebut terpenuhi, maka hukum had dilaksanakan, alasannya adalah bukan karena kelakuan pelaku tersebut saja, akan tetapi adalah karena sifat buruk yang telah menodai masyarakat. Sehingga hal ini harus segera dicegah dengan hukuman agar tak merembet membakar moral masyarakat yang lain.
3.      Dalam kasus kriminal yang tak ada had nya, maka kebijakan diserahkan pada hakim muslim dengan batasan tidak boleh melebihi had tertentu. Dan dalam hal ini harus diselaraskan dengan ruang dan waktu serta nilai-nilai positif semua masyarakat.
b.      Syari’at Islam dan kebijakan perekonomian
Lebih lanjut, tentang tuntutan mereka yang menganggap bahwa banyak hukum Islam sudah tidak relevan dan harus diganti, sebagaimana tuntutan mereka tentang pelegalan riba dalam hukum ekonomi dengan pertimbangan maslahah, dengan kesimpulan akhir bahwa sangat tidak pas kalau syari’at Islam diterapkan untuk Indonesia yang sedang membangun ekonomi, karena Islam mengharamkan riba.
Propaganda pelegalan riba dalam hukum ekonomi adalah salah fatal, karena sudah sangat jelas ditegaskan dalam hukum perekonomian bahwa uang tidak bisa dilahirkan dari uang, tapi uang adalah sesuatu yang terlahir dari manfa’at yang dihasilkan. Terlebih lagi pengambilan alasan (‘Illat) pengharaman riba adalah karena bertentangan dengan nilai sosial (‘Irfaq), sehingga mereka berkesimpulan bahwa yang diharamkan adalah praktek hutang konsumtif saja, tidak pada hutang produktif. Dengan mengusung asumsi bahwa praktek riba pada zaman jahiliah adalah hanya pada hutang konsumtif saja.
Analisa diatas jelas salah, karena jika alasan riba bertolak dari unsur belas kasih, maka, yang terjadi malah sebaliknya. Justru ketika kita menahan diri dari memberikan hutang kepada orang yang membutuhkan, itu adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan nilai sosial. Jadi sebenarnya pengharaman riba adalah berangkat dari aplikasi kaidah perekonomian itu sendiri. Sedangkan nilai-nilai sosial adalah pesan akhlak yang sangat dianjurkan agama, namun bukan alasan pengharaman riba. Para Yuris dimasa sahabat dan seterusnya juga tak pernah satupun dari mereka yang mengatakan bahwa karena alasan nilai sosial maka riba hanya diharamkan dalam hutang konsumtif saja, tidak pada hutang produktif, padahal kapabelitas mereka tidak kita ragukan lagi, sebagaimana yang bisa kita baca dari catatan historis Islam yang banyak disekitar kita.
Anggapan yang sangat keliru, jika hutang riba di zaman Jahiliah hanya terfokus pada hutang konsumtif saja, tidak pada hutang produktif. Ini adalah kebodohan yang sangat, karena dalam realitanya hutang pada zaman Jahiliah adalah sampai pada puluhan ribu bahkan sampai ratusan ribu dirham, lalu apakah logis kalau hutang sampai sebanyak itu hanya untuk memenuhi kebutuhan makan minum saja, yang saat itu keperluan hidup tak melebihi sepuluh dirham.
Yang jelas berbeda dengan cara hidup orang sekarang yang menuntut serba mewah dalam segala hal. Riba juga bertentangan dengan konsep maslahah yang telah digariskan oleh agama, yaitu masalahah yang telah di nash dalam Al-Qur’an, maslahah yang dianaloqikan dengan maslahah yang telah di nash dalam Al-Qur’an dan masalahah Mursalah yaitu clear statemen dari adanya dukungan atau larangan dalam agama, namun masuk dalam maqasid al-khamsah.
c.       Syari’at Islam dan persepsi diskriminasi terhadap kaum wanita
Diskriminasi ini adalah seputar kewajiban wanita menggunakan pakaian yang bisa menutupi aurat mereka, yang pada era industri sekarang ini mengharuskan setiap tangan manusia agar bekerja dan mencurahkan semua tenaganya. Dalam kondisi ini keberadaan setiap manusia perempuan menjadi sebuah keharusan baginya untuk ikut berperan serta secara bersama-sama dengan laki-laki, karena mereka (kaum wanita) adalah bagian dari masyarakat, sehingga jika mereka tetap berpakaian seperti yang dituntut oleh syari’at Islam maka mereka tidak akan mampu berpartisipasi bersama kaum laki-laki. Presepsi yang kedua adalah tuduhan bahwa busana muslimah itu dianggap menghambat kebangkitan logika, kultur dan sosial. Jadi harus segera diganti dengan pakaian yang bebas tidak terikat.
Kedua persepsi ini keduanya mengusung alasan yang salah, karena dalam kasus pertama, banyak kita temukan ribuan bahkan jutaan pemuda pengangguran yang berlalu-lalang. Jika benar pada era industri ini mengharuskan kerja total semua lapisan masyarakat baik laki-laki maupun wanita, maka pemandangan (jutaan pengangguran) itu tidak akan terlihat. Kasus ini akan berbeda ketika kita melirik gaya hidup matrialisme yang dianut bangsa eropa, dimana seorang kepala keluarga tidak ada beban nafkah terhadap keluarganya, baik kepada anak perempuan maupun isteri. Gaya hidup seperti ini tidak bisa kita jadikan standart untuk diterapkan dalam dunia Islam, yang telah memiliki kebijakan dalam urusan nafkah tersendiri.
Tidak ada satu pun pakar perancang dan pembuat pakaian yang mengatakan bahwa pakaian itu mempengaruhi kecerdasan, jadi sangat mengada-ada persepsi kedua diatas. Terlebih lagi bila kita lihat realita, banyak sekali kita temukan dalam para mahasiswi yang berbusana muslim lebih pandai dari pada teman-temannya yang menggunakan pakaian bebas (tak menutup aurat).
H.    Menerapkan Syariat Islam di Bidang Sosial, Budaya dan Pendidikan
1.      MUKADIMAH
Salah satu kata kunci dalam kehidupan sosial budaya dan juga sangat
dipentingkan dalam dunia pendidikan adalah memahami setiap terminologi
yang
dipergunakan. Mengetahui batasan arti dari suatu terminologi
menurut Imam Ibnu Taimiyah, memang adalah suatu hal yang sangat
diperlukan. Bahkan menurut beliau pengetahuan akan hal ini bagian dari
kewajiban agama yang sebagiannya berkategori wajib ‘ain atau wajib
kifayah. Untuk itulah All
ah mencela orang-orang yang tidak mementingkan
pengetahuan tentang hal itu sebagaimana tersebut dalam surat at-Taubah
ayat 97.
Menurut Ibnu Taimiyah batasan terminologi itu berkaitan dengan tiga hal
yaitu terminologi syariat, terminologi bahasa
dan terminologi sosial.
Mengetahui perbedaan antara ketiganya dalam konteks batasan terminologi
juga sangat dipentingkan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami
suatu terminologi, misalnya terminologi shalat, zakat, puasa
dan haji
mempunyai arti sendiri. Yang bila hanya berhenti pada terminologi
bahasa, tentu tidak merealisasi rukun Islam sebab itu semua adalah masuk
dalam terminologi syariat.
2.      MAKNA SYARIAT DALAM TINJAUAN AGAMA
Syariat adalah sebuah terminologi yang disebutkan oleh Al-Qur`an yang
diturunkan dalam bahasa Arab. Ia sekaligus menyambungkan sejarah
agama-agama yang dibawa oleh para Rasul dan ditutup oleh kerasulan Nabi
Muhammad (asy-Syura: 13). Pengertian syariat secara bahasa tentunya
harus dirujukkan kedalam bahasa Al-Qur`an bukan kedalam bahasa lokal
yang dapat memunculkan penafsiran yang mesum seperti yang dilakukan oleh
Darmo Gandul dan Gatoloco. Secara bahasa ia berarti at-Thariqah.
Melaksanakan syariat artinya mengikuti jalan yang terang. Dari sini,
menurut ar-Rogib al-Asfahani, ungkapan ini dipinjam untuk menjadi
thariqah Ilahiyah. Secara terminologi, thariqah mempunyai dua arti,
yaitu :
1)      Jalan apapun yang dimudahkan oleh Allah dan kemudian dilalui oleh
umat manusia yang akan membawa efek kemaslahatan bagi umat manusia serta kemakmuran negeri.
2)      Apa saja yang ditentukan Allah dalam agamanya dan apa saja yang
diperintahkan-Nya agar manusia dapat memilih karena adanya perbedaan
syariat-syariat agama karena terjadi nashikh (penghapusan) atas agama
sebelumnya.
Syariat juga disebut dengan syariat sebab ditamsilkan dengan ungkapan
yang berkaitan dengan syariat air sebab siapa pun yang mereguknya dengan
benar maka akan hilanglah dahaganya dan bahkan dengan air itu ia bisa
bersuci.
Agama Islam melalui kitab sucinya Al-Qur`an menyampaikan beberapa ayat yang secara eksplisit menyebutkan tentang syariat misalnya dalam surat
al-Jatsiyah ayat 18 dan surat asy-Syura ayat 13. Sekalipun ayat-ayat
tentang ini berada dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah yang secara prinsip
berkaitan dengan masalah akidah, sehingga nanti datanglah seorang ulama
bernama Abu Bakar Muhammad bin Husain al-Ajuri (wafat pada tahun 360 H) menulis kitab dengan judul Asy-Syariat yang keseluruhan pembahasan
adalah masalah akidah.
Dari pengertian tentang syariat di atas nampak jelas bahwa terminologi
syariat dalam pengertian agama mencakup bukan hanya masalah hukum Islam
seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga otomatis berkaitan dengan
potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau mengejar-ngejar orang
untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak lainnya. Tetapi, ia
juga sangat berkaitan dengan masalah sosial budaya dan pendidikkan.
Syariat juga berkaitan dengan pakaian dan asesoris yang dikenakan
sebagaimana yang ditampilkan kajian DR. Muhammad Abdul Aziz Amru dalam
kitabnya Al-Libas wa Zinah fi Syariah al-Islamiyah.
Syariat juga berkaitan dengan upaya untuk merealisasikan kemaslahatan
hidup seperti yang disampaikan DR. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam
kitabnya Dhawabith al-Mashlahah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat juga
ternyata sangat mementingkan keleluasaan hidup dan menjauhkannya dari
yang menyulitkan sebagaimana yang tampak jelas dalam kajian DR. Shalih
bin Abdullah bin Humaid dalam kitabnya Raf’ul al Haraj fi Syariah
al-Islamiyah.
3.      MAKNA SYARIAT DALAM PENDEKATAN SOSIAL
Kehidupan sosial umat manusia di manapun mereka berada pastilah merujuk pada tatanan, untuk mengharmoniskan kehidupan itu dan untuk menjaganya agar tidak lepas kendali sehingga hubungan sosial tidak menjadi kontra produktif tetapi semakin memunculkan makna kebahagiaan dan kemakmuran.
Demikian itu jugalah makna syariat dalam konteks sosial. Para ulama
fikih dan ushul fikih dimulai oleh Imam asy-Syafi’i dan kemudian juga
tampil dalam kajian-kajian fikih kontemporer, telah memunculkan berbagai
kaidah yang mereka kongklusikan dari dalil-dalil Al-Qur`an, Sunnah,
ijma’ dan qiyas. Kaidah-kaidah yang sangat menerangkan makna syariat
dalam konteks sosial misalnya:
1)      Kaidah tentang lima prinsip, yaitu prinsip keharusan menjaga agama,
akal, jiwa, keturunandan harta.
2)      Kaidah hukum taklifi itu bukan dua saja halal dan haram, melainkan
ada juga yang sunah, makruh bahkan ada yang mubah
3)      Anjuran untuk terus dapat berijtihad dan mentajdid
4)      Prinsip tentang kesesuaian syariat dengan realitas, juga bahwa
syariat itu berdiri atas bangunan kemudahan dan mementingkan pentahapan
5)      Kaidah tentang urf (adat) sebagai rujukan syariat.
6)      Kaidah tentang amal dan atau perbuatan penduduk Madinah, seperti
dipergunakan oleh Imam Malik.
7)      Kaidah tentang mempertimbangkan kedaruratan dan mementingkan
kemashlahatan
8)      Kaidah tentang syura (bermusyawarah)
9)      Kaidah tentang amr ma’ruf nahyi munkar
10)  Kaidah tentang tolong menolong dalam kebajikan dan takwadan bukan
dalam dosa dan melanggar hukum
11)  Kaidah tentang fikih dakwah
12)  Kaidah tentang fikih muamalah (hubungan sosial)
13)  Kaidah tentang rabbaniyah dan syumuliyah syariat Islamiah
14)  Kaidah tentang menegakkan keadilan dan egalitarianisme dihadapan
hukum.
Dengan pendekatan sosial ini, syariat dapat semakin membuktikan makna
bahwa keberadaannya adalah sebagai rahmat bagi kehidupan (al-Anbiya:
107), bahwa syariat itu bahkan dapat “membuat hidup jadi lebih hidup”
(al-Anfal: 24, al-Baqarah: 179), bahwa syariat adalah bukan makhluk
asing di tengah kehidupan manusia, tetapi merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kemanusiaan untuk kemajuan dan kemashlahatan mereka
(al-Jum’ah:2), bahkan ia sangat peduli dan bersimpati dengan
kemanusiaan (at-Taubah: 128), sehingga karena demikian positifnya
syariat bagi kehidupan sosial masyarakat manusia, logis saja bila
kemudian Allah “Zat yang Maha Rahman dan Rahim itu”, meminta ketaatan
umat manusia untuk melaksanakan syariat-Nya (al-Ahzab: 36) bukan dalam
konteks pemaksaan apalagi teror, sebab memang telah nyata perbedaan
antara yang baik dan benar dengan yang salah, buruk dan tidak bermanfaat
(al-Baqarah: 256).
Dengan pendekatan ini, syariat akan merealisasikan bukan saja kesalehan
verbal, formal, atau individual melainkan akan memunculkan kesalehan
esensial, eksistensialdan sosial sekaligus. Bahkan kepedulian realisasi
tentang masalah sosial oleh Rasulullah Saw dijadikan sebagai tolok ukur
adanya kesalehan individual.
Dan dengan pendekatan normatif aplikatif seperti di atas, kita mempunyai
pedoman dasar, bahwa syariat memang sangat berhubungan dengan faktor
sosial budaya, ia berhubungan dengannya dengan sangat erat, bahkan ia
pro-aktif berinteraksi dengan budaya manusia, bahkan ia pun menciptakan
kebudayaan baru di atas bingkai dan landasan syariat. Sehingga dahulu
para ulama memunculkan suatu ungkapan yang sangat berarti: “Bila di situ
ada kemaslahatan, maka di situ pulalah letak syariat.”
4.      PENERAPAN SYARIAT DALAM BIDANG PENDIDIKKAN
Islam dengan syariatnya, adalah satu-satunya agama yang memulai ungkapan ajarannya dengan perintah untuk membaca (iqra’). Bukan sekadar membaca, bahkan ia adalah membaca yang dilandasi oleh ideologi dan etos “dengan nama Rabbmu” (bismirabbika).
Syariat yang sarat dengan prinsip pendidikan Islam ini kemudian
dipertegas oleh berbagai firman Allah lainnya yang menegaskan bahwa
tugas utama kerasulan dan karenanya salah satu inti dasar dari syariat
Islam yang harus diterapkan adalah masalah pendidikan. Allah berfirman:“Allahlah yang mengutus kepada mereka, seorang Rasul yang dating dari keluarga mereka sendiri, Rasul ini membacakan ayat-ayat Rabb mereka,
mensucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka ajaran al-Kitab
(Al-Qur`an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). (al-Jum’ah :2)”
Dan begitu banyak ayat dan hadits lain yang menetapkan pentingnya
syariat diterapkan dalam pendidikan.
Syariat Islam yang berkaitan dengan masalah pendidikan ini, kemudian
secara atraktif direalissasikan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai
peristiwa, seperti ketika beliau menjadikan tebusan Perang Badar melalui
pengajaran pemberantasan buta huruf, beliau pun mengizinkan Zaid bin
Tsabit r.a. untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani, beliau pun
mengizinkan Yusuf bin Kabdah ats-Tsaqafi mempelajari ilmu kedokteran di
Persia. Selain itu tentu saja aktivitas langsung beliau mengajari para
sahabat laki-laki maupun wanita, baik di masjid, di rumah, di kebun,
maupun di tempat-tempat umum lainnya.
Paradigma ini kemudian memunculkan lompatan budaya yang luar biasa,
dengan munculnya suatu generasi yang sangat terpelajar tetapi sangat
religius, mereka melaksanakan syariat Islam sambil memiliki credo
rahmatan lil alamin.
Etos penerapan syariat dalam bidang pendidikan ini sungguh sangat
manusiawi. Ia terus berlangsung dalam berbagai inovasi, sejak zaman
sahabat, tabi’in, hingga ke masa-masa keemasan budaya dan intelektual
Islam, dalam berbagai bidang dan aktifitas kependidikan. Dan itu terus
berlangsung hingga saat ini.
Dari perjalanan sejarah interaksi umat dengan penerapan syariat dalam
bidang pendidikan, didapatkan beberapa hal yang merupakan kaidah-kaidah
penerapan syariat Islam dalam bidang pendidikan ke depan, antara lain:
1)      Adanya kaidah-kaidah tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Kaidah itu
kini semakin ditekuni untuk diwujudkan dalam bentuk aktifitas pendidikan
yang syar’i.
2)      Adanya interaksi dengan berbagai budaya pendidikan yang asalnya tidak
muncul dari dunia Islam.
3)      Adanya buku dan lembaga-lembaga pendidikkan Islam yang sangat beragam
yang telah sangat berpengalaman dalam penerapan syariat Islam dalam
bidang pendidikan.
Hal-hal semacam itulah yang diharapkan akan memudahkan menanggulangi hambatan-hambatan penerapan syariat dalam bidang pendidikan seperti faktor sekularisme dan lain-lain.
Adanya pendidikan yang berlandaskan syariat baik dalam bentuk teori,
buku kurikulum, apalagi lembaga pendidikan yang berlandaskan syariat,
tentulah sangat diperlukan sebagai sarana mempersiapkan kader-kader yang
akan melanjutkan kehidupan di bawah naungan syariat. Sebab kaidah baku
yang telah disepakati para ulama, tetaplah berbunyi: “Sesuatu yang hanya
dengan itulah maka kewajiban dapat direalisasikan, maka sesuatu itu pun
berkategori hukum wajib.”






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Syariah Islam memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan umumnya pada seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Muamalah dalam syariah Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan demikian Syariah Islam dapat terus menerus memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi semua pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan kesewenangan dari pihak yang kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah Islam akan lahir masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.
Islam adalah sekaligus syariat yang dalam dirinya terkandung kepedulian
sangat tinggi dengan masalah sosial budaya dan pendidikan. Keharusan
melaksanakan Islam secara kaffah, niscaya menjadi pijakanyang sangat
kokoh akan keharusan keberadaan syariat pada lapangan sosial budaya dan
pendidikan. Lebih dari itu sejarah umat yang telah terukir berabad-abad
lamanya, baik pada skala lokal, nasional maupun global, ternyata juga
membuktikan bahwa syariat Islam itu memang rahmatan lil alamindan
karenanya pastilah ia dapat dan perlu terwujud pada tataran sosial
budaya dan pendidikan.