Tugas Makalah
ORGANISASI SAREKAT DAGANG ISLAM DAN SAREKAT ISLAM
OLEH
VERAWATI
A1A213052
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak sekali memberikan kita nikmat
yang tidak terhingga sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Dan juga kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dosen yang telah banyak memberikan
ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada kami semua, serta kepada teman-teman
mahasiswa/i semua.
Dalam Makalah ini kami membahas
tentang Organisasi sarekat dagang islam
dan sarekat islam. Kami mengajak kepada para pembaca semua agar kita
senantiasa melakukan hal yang baik atau yang diperintahkan oleh Alah SWT dan
Rasul-Nya serta meninggalkan atau menjauhi apa yang dilarang-Nya agar hidup
kita selamat dunia dan akhirat.
Penulis menyadari akan kekurangan
dan kekhilafan dalam pembahasan Makalah ini. Untuk itu partisipasi serta kritik
yang baik sangat kami harapkan demi tujuan kita bersama, mudah-mudahan Makalah
ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Kendari, oktober 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Penulisan
D.
Manfaat
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Perubahan Sarekat Dagang
Islam Menjadi Sarekat Islam
B.
Pengaruh Serikat Islam dalam Pergerakan
Nasional
C. Pengaruh
Sosialisme-Revolusioner terhadap Serikat Islam
D. Perpecahan
dalam Serikat Islam
E. Perpecahan
Akibat Pendirian Volksraad & Indie Weebar
F. Pecah
Menjadi SI Revolusioner dan SI Berlandaskan Asas Islam
G. Kemunduran
Partai Serikat Islam
BAB
III PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa
Pergerakan Nasional yang dimulai dari tahun 1908 hingga 1942 merupakan awal
mula pergerakan Indonesia. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan timbulnya
banyak Organisasi-organisasi yang sudah tersusun secara struktural. Maksud dari
Organisasi yang tersusun secara struktural yaitu Organisasi yang ada tidaklah
bersifat tradisional. Organisasi yang tradisional dicirikan dengan peran
pemimpin yang sangat dominan. Jika pemimpin tersebut meninggal atau ditangkap
maka organisasi tersebut akan lenyap. Selain dari organisasi yang sudah
tersusun secara struktural ciri dari masa ini yaitu lingkup yang sudah
menasional. Nasional di sini dimaksudkan bahwa organisasi tersebut bukan hanya
terpaku oleh daerah-daerah saja, tetapi juga sudah melebarkan sayapnya hingga
meraih anggota dan pengaruh ke daerah lain yang lebih luas.
Salah
satu organisasi pada masa pergerakan nasional adalah Sarekat Islam. Sarekat
Islam mula-mula dinamakan Sarekat Dagang Islam. Ketika masih menjadi Sarekat
Dagang Islam organisasi ini lebih berfokus kepada masalah perekonomian, tetapi
ketika sudah menjadi Sarekat Islam maka lebih berfokus kepada masalah politik.
Sarekat
Islam merupakan suatu organisasi yang banyak memberikan konstribusi kepada
pergerakan nasional. Kongres-kongres yang dilakukan oleh Sarekat Islam banyak
yang memberikan kritik kepada pemerintah Belanda serta memberikan peluang
kepada masyarakat pribumi. Walaupun karena kritik tersebut Sarekat Islam pernah
dibekukan.
Sarekat
Islam merupakan organisasi yang memiliki banyak pengikut. Oleh karena itulah
banyak sekali pihak yang ingin menggunakannya demi kepentingan politik
tersendiri. Paham-paham dari luar yang banyak memberikan pengaruh juga
memberikan dampak yang cukup besar bagi Sarekat Islam itu sendiri. Paham
tersebut juga menjadi bumerang bagi Sarekat Islam. Selain itu juga adanya pro
dan kontra di dalam kubu anggota Sarekat Islam juga memberikan dampak yang
begitu besar bagi organisasi tersebut. Indie Weerbaar dan Volksraad
juga memberikan konstribusi dalam perjalanan Sarekat Islam.
B. Rumusan Permasalahan
Melihat latar belakang di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang muncul, yaitu :
1.
Apa yang melatarbelakangi didirikannya
Serikat Islam ?
2.
Bagaimana pengaruh Sosialisme-Revolusioner
terhadap Serikat Islam ?
3.
Apa yang menyebabkan perpecahan dalam Serikat
Islam ?
4.
Bagaimana kondisi Serikat Islam
pasca perpecahan ?
5.
Bagaimana pengaruh ataupun peran Serikat
Islam dalam pergerakan nasional ?
C. Tujuan Penulisan
Dengan
melihat adanya permasalahan yang muncul, dengan demikian tujuan Penulisan ini,
yaitu :
1.
Memberikan informasi seputar hal yang
melatar belakangi didirikannya Serikat
islam
2.
Mengetahui pengaruh Sosialisme-Revolusioner
terhadap Serikat Islam;
3.
Memberikan pengetahuan terkait penyebab
perpecahan dalam Serikat Islam;
4.
Memberikan gambaran kondisi Serikat Islam
pasca perpecahan;
5.
Menjelaskan pengaruh ataupun peran
Serikat Islam dalam pergerakan nasional.
D. Manfaat
Penulisan
Dengan
mengetahui Serikat Islam yang merupakan salah satu pergerakan nasional awal
yang ada di Indonesia, manfaat yang diharapkan yaitu:
1.
Penulis, sebagai wahana penambah
pengetahuan dan keilmuan dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia khususnya
dalam bidang Sarekat Islam.
2.
Pembaca, sebagai wahana penambah pengetahuan
dan keilmuan serta kajian teoritis dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
khususnya dalam bidang sarekat Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Perubahan Sarekat Dagang
Islam Menjadi Sarekat Islam
Organisasi Sarekat Dagang Islam
(SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi
ini dirintis oleh Haji
Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang
pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan
pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih
maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk
Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah
Hindia Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya
kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
Organisasi ini didirikan juga untuk
melawan upaya monopoli sebagian kalangan atas bahan baku produksi batik. Ini
digambarkan oleh Tirto Adhi soerjo di laporannya di “Medan Priyayi” dengan Judul
“Menonton Wayang Priyayi.” Sedikit dari kutipan itu berbunyi:
“Saudagar-saudagar kecil tidak bisa beli kain dagangan
sendiri di Solo karena kain yang bisa masuk priangan sudah diikat oleh
saudagar-saudagar besar.”
Dalam kutipan lain, Tirto menulis:
“Perniagaan semakin sempit, dan karena itu kita mesti
ambil perniagaan yang dilakukan bangsa asing. Kita anak negri mesti bisa jadi
toke sendiri….”
Organisasi ini juga dimaksudkan untuk lebih memperkuat
golongan-golongan pedagang Indonesia terhadap pedagang-pedagang China yang saat
itu memegang peranan sebagai leveransian bahan-bahan yang diperuntukan oleh
perusahaan yakni kain moni putih, bahan pembuat batik dan alat-alat untuk
memberi warna dalam proses pembuatan. Haji Samanhudi merasa dipermainkan oleh leveransin-leveransin
China, sehingga timbul keinginan untuk memperkuat diri dalam menghadapi
leveransin China tersebut dengan mendirikan perkumpulan yang semula bersifat
ekonomi dengan nama Sarekat Dagang Islam. Perubahan nama menjadi Sarekat Islam.
Haji Samanhudi meminta bentuan seorang terpelajar yang bekerja pada sebuah
perusahaan dagang di Surabaya, yakni Oemar Said Tjokroaminoto. Selanjutnya
Tjokroaminoto menyarankan agar perkumpulan tersebut tidak membatasi dirinya
hanya untuk golongan pedagang saja, tetapi diperluas jangkauannya maka nama SDI
diganti menjadi SI.
Sarekat Islam, yang sebelumnya merupakan Sarekat Dagang Islam, pada awalnya
merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang tidak lain adalah
golongan-golongan pedagang pribumi sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi
pedagang orang-orang Cina. Hal ini berawal dari timbulnya usaha pengusaha batik
di kota Surakarta untuk mengadakan persatuan demi melawan taktik dagang para
pedagang Cina.
Usaha tersebut dipelpori oleh Haji Samanhudi di kampung
Laweyan di kota Surakarta. Haji Samanhudi
mendirikan Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 yang beranggotakan para
pengusaha batik di kota Surakarta. Tujuan utama didirikannya Sarekat Dagang
Islam adalah untuk memperkuat usaha dalam menghadapi para pedagang Cina, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang
pribumi muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan
pedagang-pedagang besar orang-orang
Cina (Muljana, 2008: 121). Pada saat itu,
pedagang-pedagang Cina tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan
status yang lebih tinggi dari pada pedagang pribumi lainnya. Berdirinya
perkumpulan Sarekat Dagang Islam itu jelas berdasarkan pertimbangan ekonomi.
Oleh karena itu, para pengusaha batik di Indonesia pada umumnya memeluk agama
Islam.
Berdirinya
Sarekat Dagang Islam disambut baik oleh para pengusaha batik yang mengharapkan
dapat membeli bahan batik lebih murah. Meskipun demikian, untuk bergerak secara
sah, Sarekat Dagang Islam harus menyusun anggaran dasarnya untuk disahkan oleh
pemerintah. Untuk menyusun anggaran dasar tersebut. Haji Samanhudi merasa kurang
mampu. Oleh karena itu, dia kemudian mencari bantuan kepada seorang pelajar
Indonesia yang berkerja pada perusahaan di Surabaya. Pelajar yang dimaksu
adalah Cokroaminoto. Kemudian, Haji Samanhudi menghubungi Umar Said
Cokroaminoto. Setelah bertukar pikiran, timbul gagasan dalam diri Umar Said
Cokroaminoto untuk mengubah nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam,
atas pertimbangan bahwa perkumpulan itu tidak terbatas sampai pada para
pedagang saja, tetapi juga mempunyai dasar yang lebih luas sehingga orang Islam
yang di luar pedagang dapat menjadi anggota. Gagasan Cokroaminoto diterima baik
oleh Haji Samanhudi. Pada tahun 1912,
oleh pimpinannya yang baru Umar Said Cokroaminoto, nama Serikat Dagang Islam
diubah menjadi Sarekat Islam. Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya
bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain, seperti halnya
politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI
adalah sebagai berikut:
a.
Mengembangkan jiwa dagang;
b.
Membantu anggota-anggota yang mengalami
kesulitan dalam bidang usaha;
c.
Memajukan pengajaran dan semua usaha yang
mempercepat naiknya derajat rakyat;
d.
Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru
mengenai agama Islam;
e.
Hidup menurut perintah agama.
Pada tahun 1914 telah berdiri 56 cabang
Sarekat Islam dengan pengakuan sebagai badan hukum. Cabang-cabang tersebut
masih berdiri sebagai Sarekat Islam Lokal karena badan pusat tidak ada.
demikianlah pengurus Pusat Sarekat Islam mengajukan permohonan pengakuan
sebagai badan hukum dengan penjelasan bahwa pusat Sarekat Islam tidak mempunyai
anggota perorangan, tetapi anggotanya terdiri dari sarekat-sarekat Islam Lokal.
Maka pada tanggal 18 Maret 1916, diputuskan oleh yang berwajib untuk pengakuan
sebagai badan hukum (Muljana, 2008: 122-123).. Tujuan Serikat Islam adalah
membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan Serikat Islam terbuka untuk
semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu Serikat Islam mengajukan diri
sebagai Badan Hukum, pada awalnya Gubernur
Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya
diberikannya pada Serikat Islam lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak
terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian
besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya Serikat Islam memiliki jumlah
anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya
Serikat Islam pusat diberikan pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret
tahun 1916. Setelah pemerintah
memperbolehkan berdirinya partai politik, Serikat Islam berubah menjadi partai
politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Tokoh-tokoh pendiri pusat Sarekat Islam dengan pengurus yang terdiri :
a. Haji
Samanhudi (Ketua Kehormatan)
b. Umar Said Cokroaminoto
c. Agus Salim
d. Abdul
Muis
e.
Haji Gunawan
f.
Wondoamiseno
g.
Sasrokardono
h.
Soerjopranoto
i.
Alimin Prawirodirejo
j.
Semaun
B. Pengaruh Serikat Islam
dalam Pergerakan Nasional
Serikat
Islam pada mulanya bernama Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh H.
Samanhudi yang berdasarkan pada Agama dan Perekonomian Rakyat sebagai dasar
dalam pergerakannya, tujuannya pula adalah melindungi hak – hak pedagang
pribumi dari monopoli dagang yang dilakukan oleh pedagang–pedagang besar
tionghoa. Dan dengan lahirnya Sarikat Dagang Islam yang menghimpun pedagang
Islam pribumi pada saat itu, diharapkan dapat bersaing dengan pedagang asing
seperti Tionghoa, India, dan Arab.
Pada
1912 Sarekat Dagang Islam berganti nama menjadi Sarekat Islam oleh H.O.S.
Tjokroaminoto, pergantian nama ini didasarkan agar Sarekat Islam ini
tidak hanya bergerak dalam bidang agama dan Ekonomi saja, tetapi dapat bergerak
dalam Politik pula, sehingga membuat ruang gerak Sarekat Islam pun bertambah
luas. Setelah menjadi SI sifat gerakan menjadi lebih luas karena tidak dibatasi
keanggotaannya pada kaum pedagang saja. Dalam Anggaran Dasar tertanggal 10
September 1912, tujuan perkumpulan ini diperluas ,antara lain:
a. Memajukan
perdagangan;
b. Memberi
pertolongan kepada anggota yang mengalami kesukaran (semacam usaha koperasi);
c. Memajukan
kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama;
d. Memajukan
agama Islam serta menghilangkan faham- faham yang keliru tentang agama Islam.
Program
yang baru tersebut masih mempertahankan tujuan lama yaitu dalam bidang
perdagangan namun tampak terlihat perluasan ruang gerak yang tidak membatasi
pada keanggotaan para pedagang tetapi terbuka bagi semua masyarakat. Tujuan
politik tidak tercantumkan karena pemerintah masih melarang adanya partai
politik. Perluasan keanggotaan tersebut menyebabkan dalam waktu relatif singkat
keanggotaan Serikat Islam meningkat drastis. Mobilisasi terhadap rakyat pun
bertambah luas, karena pada saat itu muncul Nasionalisme dalam pengertian
politik baru saat Sarekat Islam ini diketuai oleh HOS Tjokroaminoto. Sebagai
organisasi poltik pelopor Nasionalisme, saat itu Tjokroaminoto pun memberikan
batasan :
“Pengertian
Nasional sebagai usaha meningkatkan seseorang pada tingkat natie berjuang
menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang – kurangnya bangsa Indonesia diberi
hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah politik.” (Muhibin : 2009).
Dalam
Sarekat Islam pun terdapat beberapa program kerja, program kerja dibagi atas
delapan bagian yaitu: Mengenai politik Sarekat Islam menuntut didirikannya
dewan-dewan daerah, perluasan hak-hak Volksraad dengan tujuan untuk
mentransformasikan menjadi suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk
legelatif. Sarekat Islam juga menuntut penghapusan kerja paksa dan sistim izin
untuk bepergian. Dalam bidang pendidikan, Serikat Islam menuntut penghapusan
peraturan diskriminatif dalam penerimaan murid di sekolah-sekolah. Dalam bidang
agama, Serikat Islampun menuntut dihapuskannya segala peraturan dan
undang-undang yang menghambat tersiarnya agama Islam. Sarekat Islam juga
menuntut pemisahan lembaga kekuasaan yudikatif dan eksekutif dan menganggap
perlu dibangun suatu hukum yang sama bagi menegakkan hak-hak yang sama di
antara penduduk negeri. Partai juga menuntut perbaikan di bidang agraria dan
pertanian dengan menghapuskan particuliere landerijen (milik tuan tanah)
serta menasonalisasi industri-industri monopolistik yang menyangkut pelayanan
dan barang-barang pokok kebutuhan rakyat banyak. Dalam bidang keuangan SI
menuntut adanya pajak-pajak berdasar proporsional serta pajak-pajak yang
dipungut terhadap laba perkebunan. Kemudian Serikat Islam inipun menuntut
pemerintah untuk memerangi minuman keras dan candu, perjudian, prostitusi dan
melarang penggunaan tenaga anak-anak serta membuat peraturan perburuhan yang
menjaga kepentingan para pekerja dan menambah poliklinik dengan gratis
Benda
dalam Padmo (2007) menyatakan bahwa “SI mempunyai daya tarik yang jauh
jangkauannya di luar penduduk kota yang berpendidikan Barat. Tujuh tahun
setelah Tjokroaminoto memimpin SI, partai ini memusatkan perhatiannya secara
eklusif pada orang Indonesia dengan merekrut semua kelas, baik di kota maupun
desa. Mereka adalah pedagang muslim, pekerja di kota, kyai dan ulama, beberapa
priyayi, dan tak kurang pula petani ditarik dalam partai politik yang pertama
pada masa kolonial di Indonesia ini”. Serikat Islam meratakan kesadaran
Nasional terhadap seluruh lapisan masyarakat, baik itu lapisan masyarakat atas
maupun lapisan masyarakat tengah, dan rakyat biasa di seluruh Indonesia,
terutama melalui Kongres Nasional Senntral Islam di Bandung pada 1916. Pada
periode awal perkembanganya, Sarekat Islam dapat memobilisasi massa dengan
sangat baik, hal iti terbukti pada empat tahun berjalannya Serikat Islam yang
telah memiliki anggota sebanyak 360.000 orang, kemudian menjelang tahun 1919,
anggotanya telah mencapai hampir dua setengah juta orang. Para pendiri Serikat
Islam mendirikan organisasinya ini tidak hanya untuk mengadakan perlawanan
terhadap orang–orang Cina, tetapi untuk membuat front melawan semua
penghinaan terhadap rakyat bumi putera. Oleh karena itu, Serikat Islam berhasil
mencapai lapisan bawah masyarakat yang berabad–abad hampir tidak mengalami
perubahan dan paling banyak menderita.
Pada
mulanya Serikat Islam bersifat loyal dan membantu pemerintah. Kongresnya yang
pertama yang diadakan di Bandung pada tahun 1916, kebijakan yang diambil pada
saat itu adalah untuk membantu pemerintah. Namun pada saat kongres
Nasional di Madiun pada 17 – 20 Februari 1923, kongres mengambil keputusan
untuk membentuk sebuah Partai yaitu partai Serikat Islam (PSI), kongres ini
pula membicarakan sikap politik partai terhadap pemerintah, pada kongres ini
dibahas mengenai perubahan sikap terhadap pemerintah. Perubahan sikap politik
ini adalah partai tidak mempercayai lagi pemerintah, dan partai menolak
kerjasama dengan pemerintah, sikap politik ini biasa disebut juga sebagai sikap
“Politik Hijrah.”
C. Pengaruh Sosialisme-Revolusioner
terhadap Serikat Islam
Kemenangam
Revolusi pada bulan Oktober di Rusia memberikan dorongan dan antusiasme yang
lebih hebat kepada ISDV untuk menyebarkan Marxisme dalam politik Indonesia dan
Sarekat Islam adalah sasaran utama, karena merupakan satu-satunya gerakan massa
terkuat pada saat itu. ISDV mengadakan infiltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam
dengan tujuan dapat menguasai massa.
Pada tahun 1920,
kelompok-kelompok kiri yang lebih ekstrim dalam ISDV telah berhasil mengadakan
kontak-kontak dekat dengan unsure-unsur kiri dalam Sarekat Islam, seperti
Semaoen dari cabang Semarang, Alimin Prawirodirdjo dan Darsono. Ketiga tokoh
Sarekat Islam ini telah berhasil dibina oleh Snevliet dengan ideologi Marxisme
dalam tempo yang relatif singkat.
Pada tahun 1918
Sneevleit diusir dari Indonesia karena kegiatan-kegiatannya akan membahayakan
kekuasaan kolonial kedepannya, sebab Marxisme dikatakan sebagai antitesi
terhadap kolonialisme dan kapitalisme.
Setahun setelah
ISDV cabang Semarang didirikan, yaitu pada tahun 1914, menerima anggota pribumi
sebanyak 85 orang dan pada tahun 1916 anggotanya telah bertambah menjadi 134
orang. Dalan kongres ISDV di Jakarta bulan Mei 1917, Sneevliet disidang akibat
tulisan Zegepraal-nya, namun ia tetap pada pendiriannya dan beberapa
temannya mendukung sikap dan garis perjuangannya.
Akhirnya ISDV
pecah, puncaknya ketika ISDV cabang Batavia dan Bandung memisahkan diri dan
bergabung dengan ISDP (Indische Sosiaal Democraatische Partij). Setelah
pecah Sneevliet menarik orang-orang pribumi untuk menduduki posisi penting
organisasi. Mereka adalah Semaoen, Mas Marco dan Darsono.
ISDV melakukan
penyusupan dalam usaha memperoleh pengaruh diadakan pembagian tugas sebagai
berikut:
a. Untuk
mendekati serdadu bangsa Belanda di lakukan oleh Sneevliet;
b. Untuk
mendekati serdadu Angkatan Laut Belanda ditangani oleh Brandsteder;
c. Untuk
mendekati pegawai-pegawai negeri bangsa Belanda bagian sipil dijalankan oleh Baars dan van Burink;
d. Untuk mendekati bangsa Indonesia, Semaoen
memasuki Sarekat Islam yang kemudian disusul oleh Darsono, Tan Malaka dan
Alimin Prawirodirjo (Materu 1985:19).
Strategi ini
dikenal sebagai “blok di dalam” atau “block within” yang dikembangkan
sejak tahun 1916 oleh ISDV untuk meraih dukungan dari massa Sarekat Islam.
Maksud dari taktik ini adalah mengembangkan propaganda dan koneksitas di antara
massa dengan membangun semacam sel-sel di dalam tubuh partai induk yaitu
menjadikan anggota ISDV menjadi anggota Sarekat Islam dan sebaliknya menjadikan
anggota Sarekat Islam menjadi anggota ISDV (Priyono, 1990:2). Mereka memperkuat
pengaruh dengan jalan memanfaatkan keadaan buruk akibat Perang Dunia I dan panenan
padi yang gagal serta ketidakpuasan buruh perkebunan sebagab upah yang rendah
dan membubungnya harga-harga. Ada beberapa hal yang menyebabkan berhasilnya
ISDV melakukan infiltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam, yaitu:
a) Central Sarekat Islam sebagai badan koordinasi
pusat masih sangat lemah kekuasaannya. Tiap-tiap cabang Sarekat Islam bertindak
sendiri-sendiri secara bebas. Para pemimpin lokal yang kuat mempunyai pengaruh
yang menentukan di dalam Sarekat Islam cabang;
b) Kondisi
kepartaian pada waktu itu memungkinkan orang untuk menjadi anggota lebih dari
satu partai, karena pada mulanya organisasi-organisasi didirikan bukan sebagai
partai politik melainkan sebagai suatu organisasi guna mendukung berbagai
kepentingan sosial budaya dan ekonomi. Di kalangan kaum terpelajar menjadi
kebiasaan bagi setiap orang untuk memasuki berbagai macam organisasi yang
dianggapnya dapat membantu kepentingannya (Poesponegoro dan Notosusanto 1993:
199-200).
Pandangan miring
terhadap Sneevliet dan kawan-kawannya berkembang terutama setelah Sarekat Islam
cabang Semarang bergerak radikal dan menunjukkan warna merahnya. Abdoel Moeis,
tokoh cabang Bandung adalah yang paling gencar menyerang gerakan Sneevliet dan
kawankawannya. Abdoel Moeis meragukan komitmen perjuangan Sneevliet dengan
alasan mereka tidak berdarah santri Jawa.
Pada tanggal 6
Mei 1917, Semaoen diangkat menjadi Presiden Sarekat Islam cabang Semarang
menggantikan Raden Sodjono. Perlahan-lahan Semaoen mempengaruhi para pemimipin
Sarekat Islam Semarang dan berhasil membawa organisasi bergeser ke arah
sosialis-revolusioner. Sebagai puncak usahanya merevolusinerkan Sarekat Islam
Semarang pada tanggal 19 November 1917 melalui organ Sarekat Islam Semarang
yakni harian Sinar Hindia (dulu bernama Sinar Djawa) yang berhasil dikuasainya
(Gie, 2005: 23). Sarekat Islam Semarang menjadi kelompok yang sulit diawasi
oleh pimpinan pusat Sarekat Islam. Walaupun menurut tujuan utama Sarekat Islam
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, Sarekat Islam Semarang
menolak penampilan Islam, menyerukan aksi revolusioner dan dengan provokatif
menuduh anggota-anggota Sarekat Islam yang moderat sebagai borjuis.
D. Perpecahan dalam Serikat Islam
Pada
mulanya Sarekat Islam (SI) dilarang untuk menjalankan organisasinya oleh
pemerintah Belanda pada Agustus 1912. Setelah diadakan perubahan pada anggaran
dasar SI maka diperbolehkan untuk menjalankan aktivitasnya kembali. Rutgers
(2012; 4) menerangkan bahwa, “...pada Juni 1913, pengaktifan Pimpinan Pusat SI
tidak diizinkan, dan untuk sementara waktu, yang diizinkan itu hanya
cabang-cabangnya belaka. Baru pada 1916 Pimpinan Pusat SI diperkenankan sesudah
pengawasan pemerintah diperkuat.”
Pada
tanggal 26 Januari 1913 diadakan kongres Sarekat Islam pertama di Surabaya.
Pada kongres tersebut pimpinan SI Oemar Said Tjokroaminoto mengutarakan intinya
bahwa SI setia terhadap pemerintahan Belanda. Hal ini disebutkan dalam Rutgers
(2012; 4), “SI bukanlah suatu partai politik yang menghendaki revolusi seperti
yang disangka kebanyakan orang. Jika nanti diadakan pengejaran-pengejaran, kita
harus meminta perlindungan terhadap gubernur Jenderal. Kita setia dan puas
terhadap kekuasaan Belanda. Sungguh tidak benar, kalau kita dikatakan hendak
menyebabkan huru-hara, sungguh tidak benar, kalau kita dikatakan berontak. Itu
semua tidak benar, tidak, seribu kali tidak.”
Kongres
Sarekat Islam I menghasilkan keputusan bahwa Sarekat Islam bukan lagi sebagai
organisasi daerah Surakarta melainkan organisasi terbuka yang cakupannya
meliputi Hindia Belanda. Oleh karena itu disahkan tiga kota sebagai sentral
dari Sarekat Islam meliputi Surabaya, Yogyakarta dan Bandung.
Fungsi
dari tiga kota sentral Sarekat Islam menurut Suryanegara (2012; 380) yaitu
a.
Pertama, dari centraal Sjarikat Islam
(CSI) Surabaya, membangkitkan kesadaran berpolitik nasional umat Islam yang
bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Timur hingga seluruh wilayah Indonesia
Timur;
b.
Kedua, dari Centraal Sjarikat Islam
(CSI) Yogyakarta, membangkitkan kesadaran politik nasional umat Islam yang
bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Tengah hingga seluruh wilayah Indonesia
Tengah;
c.
Ketiga, dari Centraal Sjarikat Islam
(CSI) Bandung, membangkitkan kesadaran politik nasional umat Islam yang
bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Barat hingga Indonesia barat.
Dalam
penetapan fungsi tersebut memang disebutkan pembagian wilayah. Tetapi perlu
diingatkan kembali bahwa pembagian daerah teritorial seperti Indonesia Timur,
Indonesia Tengah dan Indonesia Barat masih belum jelas. Hal ini dikarenakan
belum adanya pembagian wilayah seperti sekarang pada masa itu.
Dalam
waktu beberapa bulan semenjak kongres Sarekat Islam pertama, SI sempat
dibekukan. Menurut Kartodirdjo (Mulyanti, 2010: 22-23) bahwa:
“Sarekat
Islam yang berdiri di Semarang sempat menyulut perkelahian antara orang Cina dengan
anggota Sarekat Islam Semarang. Perkelahian tersebut terjadi di kampung
Brondongan pada tanggal 24 Maret 1913. Penyebab perkelahian adalah kebencian
seorang Cina penjual tahu dan nasi, bernama Liem Mo Sing terhadap orang-orang
Sarekat Islam. Semula warung Liem Mo Sing tergolong laku, buruh yang bekerja di
perusahaan di dekat warungnya hampir sebagian besar menjadi langganan. Setelah
di kampung Brondongan berdiri Sarekat Islam dan buruh perusahaan tersebut
menjadi anggota maka berdiri toko dan koperasi. Sebagai akibat warung Liem Mo
Sing tidak laku. Oleh karena itu Liem Mo Sing menjadi benci terhadap Sarekat
Islam dan berusaha mengganggu orang-orang yang sedang salat, memaki-maki
orang-orang Sarekat Islam dan sebagainya. Pada hari Kamis malam tanggal 27 Maret
1913, seorang bernama Rus setelah salat Isa” melihat Liem sedang bersembunyi di
bawah surau. Karena diketahui Liem melarikan diri, kemudian dikejar oleh
orang-orang yang sedang di surau. Akhirnya Liem tertangkap dan dipukuli,
sedangkan orang-orang Cina yang berusaha melarikan diri karena takut ikut
dipukuli penduduk karena dikira akan membantu Liem.”
Perselisihan
dengan Tinghoa tersebut juga dituliskan oleh Rutgers (2012: 5),
“kejadian-kejadian seperti merampoki Tinghoa adalah juga tergolong kelompok “nasional”
ini. Dalam sikap terhadap bangsa Tinghoa terdapat perubahan antara lain
disebabkan oleh meletusnya Revolusi Tiongkok 1911-1912 yang menyebabkan banyak
penduduk Tinghoa berubah sikap dan menyakinkan akan benarnya gerakan
kemerdekaan di Indonesia juga. Sebaliknya rakyat Indonesia mulai ikut serta
dalam demonstrasi-demonstrasi yang amat menguntungkan gerakan revolusioner
Tionghoa.
E. Perpecahan Akibat Pendirian Volksraad &
Indie Weebar
Pada
tanggal 17-24 Juli 1916 dilaksanakan National Congres Centraal Sjarikat
Islam di Bandung. Menurut Suryanegara (2012: 387) suasana Bandung pada saat
kongres Nasional pertama yaitu :
“Suasana
kongres Nasional pertama Centraal Sjarikat Islam tersebut, disampaikan Mohamad
Rroem dalam harian ABADI, senin 22 Juni 1970 M atau 17 Rabiul Awal Achir 1390
H. Dua tahun kemudian, pada 1972, laporan Mohamad Roem tersebut dibukukan dalam
Bunga Rampai dari Sadjarah. Mohamad Roem menuturkan, alun-alun Bandung
sebagai kongres dihias sangat indah, disertai dengan bufet yang menyediakan
makanan dan minuman.
Pelaksanaan
kongres mendapat dukungan dari para ibu guru sekolah kautamaan istri. Mereka
ikut serta dalam melayani tamu-tamu yang akan menikmati hidangan makanan dan
minuman di bufet-bufet. Mohammad Roem memberikan penilaian bahwa adanya
aktivitas kaum Ibu Parahiyangan tersebut pertanda para Ibu tidak mau
ketinggalan dalam gerakan kebangkitan kesadaran nasional.
Pada
Ahad, 18 Juni 1916 M, diadakan pula pawai besar yang berlangsung damai. Pawai
tersebut melewati jalan-jalan raya di Bandung. Ini pertanda Sjarikat Islam
mendapat sambutan dari segenap rakyat. Saat itu hanya Sjarikat Islamlah yang
memelopori kongres yang disertai dengan penyelenggaraan berbagai acara, seperti
pameran, pawai dan rapat akbar.”
Rutgers
(2012: 7) memaparkan bahwa, “Kongres Sarekat Islam yang dilangsungkan di
Bandung antara 17-24 Juli 1916 dikunjungi oleh wakil dari tidak kurang 80
daerah di segala pelosok Indonesia dan mewakili tidak kurang dari 360.000
anggota”. Dalam hal ini pendapat dari Rutgers saling mendukung dengan
Suryanegara bahwa Kongres Sarekat Islam mendapatkan dukungan dari banyak orang.
Mengenai
pembahasan Rutgers (2012:7) membahas bahwa, “Soal-soal politik dan perluasan
hak-hak politik menjadi acara pembicaraan dan yang mencolok mata ialah, bahwa
kongres ini oleh ketianya diberi nama kongres Nasional yang pertama dari
Sarekat Islam. Meskipun ia mengajurkan pada anggota-anggota supaya
memperhatikan semua undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah kolonial
dan supaya mengejar kemakmuran dan kesejahteraan dengan jalan yang sah, yang
menonjol ke depan adalah tuntutan zelf bestuur (pemerintahan sendiri)
dan tuntutan adanya wakil-wakil rakyat dalam pemerintahan, dengan
desentralisasi dan otonomi untuk beberapa bagian dari Indonesia”
Jelas
terlihat bahwa SI sangat kental akan kritikannya kepada pemerintah Belanda.
Kritikan tersebut juga tersirat dengan digunakannya bahasa Melayu oleh Oemar
Said Tjokroaminoto pada pidatonya. Suryanegara (2012: 387) mengemukakan,
“Adapun pidato Oemar Said Tjokroaminoto disampaikan dalam bahasa Melayu, karena
pengunjungnya dari berbagai etnis. Pidato tersebut memakan waktu selama dua
jam”. Perlu diingat kembali bahwa penggunaan bahasa Belanda pada waktu itu
dilarang digunakan oleh kalangan ulama, santri dan umat Islam.
Suryanegara
(2012: 392) memaparkan tuntutan yang dihasilkan oleh Kongres Nasional Sarekat
Islam di Bandung yaitu, “Pertama, segenap undang-undang yang akan diberlakukan
untuk pribumi, harus dibuat bersama dengan pimpinan perwakilan dari rakyat
Indonesia. Berarti kongres menuntut adanya dewan perwakilan rakyat. Kedua,
dengan diberlakukannya sistem desentralisasi dari Pemerintah Hindia Belanda
sejak 23 Juli 1903, maka kongres menuntut agar sistem desentralisasi
diberlakukan lebih luas untuk seluruh wilayah Nusantara Indonesia. Dengan kata
lain, kongres menuntut agar Indonesia ber-pemerintahan sendiri atau Indonesia
Merdeka.”
Selain
dari dua hal tersebut kongres nasional Sarekat Islam juga menuntut agar
diizinkan ikut serta dalam Indie Weerbaar (Pertahanan India atau
pertahanan Indonesia). Cara yang dilakukan yaitu mengikutsertakan pemuda
Indonesia dalam pertahanan. Bousquet (Suryanegara, 2012: 395) mengatakan bahwa
:
“Sjarikat
Islam menyadari kuatnya penjajah karena memiliki siperioritas militer.
Sebaliknya, ulama dan Santri dalam posisi lemah karena tidak memiliki
organisasi militer moderen. Dengan menyertakan para pemuda dalam sistem
pertahanan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menghadapi
Perang Dunia I (1914-1919 M), diharapkan nantinya mereka akan dapat merebut
kembali kedaulatan bangsa dan negara dari penjajah. Rencana tersebut, baru
berhasil pada masa pendudukan Jepang (1942-1945 M) dalam upaya memenangkan
Perang Asia Timur Raya (1941-1945 M), yakni dengan dibentuknya Tentara Pembela
Tanah Air (PETA) dan Lastjar Hizboellah.”
Ricklefs
(2008: 371) menyebutkan bahwa, “masalah Indie Weerbaar (Pertahanan
Hindia) mula-mula merupakan persoalan pertahanan, tetapi segera berkaitan erat
dengan usul-usul bagi pembentukan Volksraad, “dewan rakyat”. Gagasan
pembentukan milisi paruh-waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia telah
dipertimbangkan, dan ditolak oleh pemerintah pada tahun 1913-4. Akan tetapi,
dengan pecahnya Perang Dunia I pada bulan agustus 1914, gagasan tersebut
dibicarakan lagi, karena milisi merupakan kekuatan pertahanan yang lebih murah
daripada memperbesar pasukan profesional.”
Berkaitan
dengan pandangan SI terhadap pembentukan Indie Weerbaar sendiri,
Ricklefs (2008: 371) mengungkapkan bahwa, “..., kampanye Indie weerbaar
dengan cepat berubah menjadi isu perwakilan rakyat. Pada tahun 1916-1917, suatu
delegasi yang terdiri atas wakil-wakil Budi Utomo, SI, Regenten Bond, dan
organisasi-organisasi serupa dari keempat kerajaan Jawa berkunjung ke negara
Belanda. Mereka mengajukan petisi kepada ratu Wilhelmia dan berkeliling negara
itu guna memberikan ceramah-ceramah. Ketika perlemen Belanda bertindak
menangani masalah-masalah itu, maka rancangan undang-undang bagi pembentukan
milisi pribumi tidak disetujui, tetapi pada bulan Desember 1916 rancangan
undang-undang bagi pembentukan Volksraad disetujui.”
Di
dalam kubu Sarekat Islam sendiri juga terdapat perbedaan pendapat. Salah satu
tokoh Sarekat Islam yaitu Samaun tidak menghendaki jika SI masuk ke dalam Indie
Weerbaar. Pringgodigdo (1994: 8), “tetapi pimpinan C.S.I. masih menyetujui
aksi aksi parlementer-evolusioner. Juga usulan Samaun untuk tidak ikut
campur dalam gerakan Indie Weerbaar tidak terima (pada waktu itu Abdul
Muis sebagai anggota “utusan Indie Weerbaar” memberikan laporan tentang
pengalamannya di negeri Belanda.”
Selain
tidak menyetujui SI masuk ke dalam Indie Weerbaar, Samaun juga tidak
setuju jika SI masuk ke dalam Volksraad. Pringgodigdo (1994: 8)
menyebutkan bahwa, “Usaha Semaun agar S.I jangan ikut duduk dalam Volkstraad
juga sia-sia. Semaun berkata, Volksraad hanya suatu pertunjukan kosong, suatu
akal dari kaum kapitalis mengelabuhi mata rakyat jelata untuk memperoleh untung
lebih banyak. Terhadap ini Abdul Muis berpendapat: turut duduk didalamnya
dengan sambil berusaha, lambat laun mengubah Volksraad menjadi sebuah parlemen
sejati. Kongres mufakat SI turut serta dalam komite nasional yang didirikan
atas anjuran BU. Komite itu mempunyai tujuan membuat daftar nama-nama calon
anggota Volksraad untuk dipimpin oleh majelis-majelis daerah dan/atau diangkat
oleh pemerintah Hindia Belanda; SI akan memajukan dua calon.”
Volksraad
berdiri atas keputusan dari pemerintah Belanda mengenai Dewan Nasional. Seperti
telah dipaparkan di atas bahwa kongres nasional SI di Bandung menghendaki
adanya Dewan Perwakilan Nasional. Sayangnya pendirian Volksraad tidak
sesuai dengan harapan. Rutgers (2012: 10) mengatakan bahwa, “Tetapi
tuntutan-tuntutan gerakan nasional dan Sarekat Islam jauh melebihi itu, hingga
di sana-sini timbul bentrokan. Di kalangan kaum tani timbullah gerakan samin,
yang pimpinannya dipegang oleh Samat. Gerakan ini mempunyai tujuan-tujuan
komunisme kuno untuk kaum tani.”
Kongres
Nasional SI ke III di Surabaya membicarakan kelanjutan dari kongres di
Bandung mengenai Dewan Rakyat. Dengan tanggapan dan pembicaraan dari pemerintah
Belanda mengenai dewan rakyat yang dibentuk sebagai Volksraad. Sayangnya
anggota pribumi yang ikut serta dalam Volksraad sedikit, lebih banyak
diisi oleh orang-orang luar pribumi.
F.
Pecah Menjadi SI Revolusioner dan SI
Berlandaskan Asas Islam
Ketika
pengaruh Rusia mulai menyebar ke penjuru dunia, tidak luput pula pengaruhnya
datang ke Indonesia. Pengaruh ini dimulai saat Sneevliet mendirikan Indische
sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya. Ricklefs (2008: 370)
mengungkapkan, “Pada tahun 1913, H.J.F.M. Sneeviet (1883-1942) tiba di
Indonesia. Dia memulai kariernya sebagai penganut mistik Katolik, tetapi
kemudian beralih ke ide-ide sosial-demokrat yang revolusioner dan aktivisme
serikat buruh. Dia kemudian bertindak sebagai agen komintern di Cina dengan
nama samaran G. Maring. Pada tahun 1914, dia mendirikan Indische
Sociaal-Democratische Vereeninging (ISDV), “Ikatan Sosial-Demokratis Hindia”,
di Surabaya.
Sayangnya
kelemahan dari ISDV yaitu anggota-anggota yang tergabung di dalamnya terdiri
dari orang-orang Belanda. Untuk mengambil hati rakyat pribumi maka tahun 1915
menjalin kerjasama dengan Insulinde. Sayangnya kerjasama dengan Insulinde
tidak berpengaruh besar, maka dari itu mulai dilirik Sarekat Islam. Ricklefs
(2008: 370) mengemukakan, “Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang, termasuk
beberapa orang Jawa terkemuka, tetapi organisasi ini jelas bukanlah alat yang
ideal untuk mendapatkan basis rakyat. Oleh karena itu, perhatian ISDV mulai
beralih kepada Sarekat Islam, satu-satunya organisasi yang memiliki pengikut di
kalangan rakyat Indonesia.
Tahun
1914 Semaun yang termasuk ke dalam anggota sarekat Islam di cabang Surabaya
bergabung dengan ISDV. Semaun kemudian dipindahkan ke Semarang. Semaun membawa
ideologi sosialis yang dibawanya dari ISDV ke Sarekat Islam cabang Semarang
ini. Ricklefs (2008: 372) mengemukakan, “pengaruh kiri dalam Sarekat Islam
semakin bertambah besar karena ISDV berusaha memperoleh basis rakyat. Pada
tahun 1914, seorang pemuda Jawa buruh kereta api yang bernama Semaun
(1899-1971) menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada tahun 1915, dia pindah ke
Semarang, di mana Sneevliet aktif dalam Serikat Buruh Kereta Api dan Trem
(VSTP). Kini Semaun juga bergabung dalam ISDV. Jumlah anggota SI Semarang
berkembang pesat mencapai 20.000 orang pada tahun 1917. Di bawah pengaruh
Semaun, cabang ini mengambil garis antikapitalis yang kuat.”
Kongres
Nasional SI ke II menuai konflik antara Semaun dengan Abdoel Moeis mengenai
masalah Volksraad dan Indie Weerbaar. Giie (Muryanti, 2010: 30)
mengemukakan, “Dalam kongres ini untuk pertama kali membahas masalah tanah
partikelir, perkebunan tebu, Volksraad dan masalah nasib buruh. Namun
dalam kongres tersebut terjadi pertentangan antara Abdoel Moeis dengan Semaun
terutama mengenai masalah Indie Weerbaar dan Volksraad. Hasilnya
golongan yang anti Indie Weerbaar dan memihak Sarekat Islam Semarang
hampir separuh.”
Akibar
konflik yang terjadi di dalam kubu Sarekat Islam sendiri berkaitan dengan
perbedaan ideologi maka SI terpecah menjadi dua. Sarekat Islam yang tetap
mempertahankan asas kebangsaan dan keagamaan (SI Putih) dan anggota yang
berpindah haluan menjadi sosialis-komunis yang dipimpin oleh SI cabang
semarang.
Faktor-faktor
perpecahan yang terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam sendiri bermula dari
keinginan untuk bergabung dengan Volksraad dan Indie Weerbar.
Keinginan ini membuat munculnya golongan yang tidak sependapat dan menentang
keras. Masuknya pengaruh Sosialis-komunis yang dibawa oleh Sneeviet dan Semaun.
Pengaruh ini mengakibatkan perbedaan ideologi yang sangat drastis di dalam kubu
Sarekat Islam itu sendiri.
G. Kemunduran Partai Serikat Islam
Kehancuran
atau kemunduran Partai Serikat Islam ini dimulai pada saat struktur organisasi
partai yang dianggap telah sempurna, lalu adanya pemecatan terhadap Dr.
Soekiman yang merupakan salah satu elit pengurus partai. Kemudian Dr. Soekiman
beserta pengikutnya membentuk sebuah partai lagi yang diberi nama Partai Islam
Indonesia (PII), kemudian adanya konflik di dalam partai juga membuat partai
ini semakin melemah. Melemahnya partai juga terlihat pada saat “Kongres Partai
Sarekat Islam tahun 1927 menegaskan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai
kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Karena tujuannya adalah untuk
mencapai kemerdekaan nasional maka Partai Sarekat Islam menggabungkan diri
dengan Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI)” (Hasyim, 2010). Kemudian, hal ini terlihat pada tahun 1938
ketika Abikusno sudah mulai tidak konsisten dengan ia memilih menggabungkan
PSII ke dalam GAPPI yang dianggap sebagai wadah Organisasi Nasional. Tujuan
GAPPI adalah mempersatukan semua partai politik Indonesia Raya. Dasar aksinya
adalah hak mengatur diri sendiri, kebangsaan yang bersendikan demokrasi menuju
cita–cita bangsa Indonesia. Kemudian juga kelemahan dan kehancuran partai pun
semakin terlihat pada tahun 1939, ketika secara resmi S.M. Kartosuwiryo
mengundurkan diri dari kepengurusan Partai, Kartosuwiryo pada saat itu jabatannya
adalah sebagai sekjen yang merangkap sebagai wakil Presiden dalam partai, dan
setelah ia keluar dari Partai Serikat Islam Indonesia, ia membentuk sebuah
lembaga yang dinamakan lembaga Suffah (Pusat Pendidikan Kaderisasi Gerakan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Organisasi Sarekat Dagang Islam
(SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi
ini dirintis oleh Haji
Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang
pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan
pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih
maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk
Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah
Hindia Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya
kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
Organisasi ini didirikan juga untuk
melawan upaya monopoli sebagian kalangan atas bahan baku produksi batik. Ini
digambarkan oleh Tirto Adhi soerjo di laporannya di “Medan Priyayi” dengan
Judul “Menonton Wayang Priyayi.” Sedikit dari kutipan itu berbunyi:
“Saudagar-saudagar kecil tidak bisa beli kain dagangan
sendiri di Solo karena kain yang bisa masuk priangan sudah diikat oleh
saudagar-saudagar besar.”
Dalam kutipan lain, Tirto menulis:
“Perniagaan semakin sempit, dan karena itu kita mesti
ambil perniagaan yang dilakukan bangsa asing. Kita anak negri mesti bisa jadi
toke sendiri….”
Organisasi ini juga dimaksudkan untuk lebih memperkuat
golongan-golongan pedagang Indonesia terhadap pedagang-pedagang China yang saat
itu memegang peranan sebagai leveransian bahan-bahan yang diperuntukan oleh
perusahaan yakni kain moni putih, bahan pembuat batik dan alat-alat untuk
memberi warna dalam proses pembuatan. Haji Samanhudi merasa dipermainkan oleh
leveransin-leveransin China, sehingga timbul keinginan untuk memperkuat diri
dalam menghadapi leveransin China tersebut dengan mendirikan perkumpulan yang
semula bersifat ekonomi dengan nama Sarekat Dagang Islam. Perubahan nama
menjadi Sarekat Islam. Haji Samanhudi meminta bentuan seorang terpelajar yang
bekerja pada sebuah perusahaan dagang di Surabaya, yakni Oemar Said
Tjokroaminoto. Selanjutnya Tjokroaminoto menyarankan agar perkumpulan tersebut
tidak membatasi dirinya hanya untuk golongan pedagang saja, tetapi diperluas
jangkauannya maka nama SDI diganti menjadi SI.
PERBANDINGAN
ANTARA ORGANISASI BUDI UTOMO DAN SAREKAT DAGANG ISLAM
Dari segi
tahun lahir
Budi Utomo berdiri pada tanggal 20
Mei 1908, sedangkan Sarekat Dagang Islam mulai beroperasi pada tanggal 16
Oktober 1905. Dari sisi siapa yang duluan, tentu Sarekat Dagang Islam yang memulakannya.
Tahun berdiri ini penting karena acap menjadi faktor utama untuk menentukan
siapa yang lebih dulu berkiprah. Dari kelahiran ini, argumentasi yang
dikemukakan kemudian akan bertemu dengan analisis yang lain. Adakalanya, sebuah
organisasi berdiri karena dipengaruhi berdirinya organisasi lain. Bisa karena
persaingan, bisa pula karena respons dari yang pertama berdiri. Maka itu, soal
tanggal, bulan, dan tahun berdiri ini penting untuk dikemukakan sebelum alasan
lain.
Dari segi
sifat
Sarekat Dagang Islam memang bergerak
di bidang perdagangan, khususnya batik, di kota Solo. Namun, pergerakan dalam
jejaring pasar batik ini memiliki dimensi lain sebagai alat perjuangan.
Sejarawan di masa Orde Lama memang tak menyetujui jika Sarekat Dagang Islam
dianggap sebagai pencetus gerakan politik. Tapi, jangan lupa, penguasaan akan
pasar itu lekat dengan politik. Sekarang saja kita lihat, keberhasilan pemimpin
politik bisa dilihat dari seberapa mumpuni dia menguasai pasar. Dalam konteks
ini, hubungan ekspor-impor, perdagangan nasional, mengatasi inflasi, tabungan
pembangunan, sampai dengan pertunbuhan nasional. Tegasnya, sebuah perubahan
politik terjadi disebabkan oleh pengaruh pasar. Jatuhnya Suharto adalah bukti
betapa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah yang tak bisa menanggulangi
krisis moneter.
Sarekat Dagang Islam juga menjalin
kerja sama dengan wirausahawan China atau Tiongkok, Kong Sing. Ini bentuk kerja
sama modern agar pemasaran batik menginternasional. Sarekat ternyata mampu
menjadi entitas bagi gerakan pembaruan sistem organisasi Islam. Soal mengapa
ada embel-embel Islam, tentu itu pilihan ideologis Haji Samanhudi. Apalagi di
masa itu, kaum pribumi yang mayoritas muslim, tidak mendapatkan tempat di
pemerintah kolonial. Kemiskinan juga menjadi problem buat masyarakat muslim
Indonesia. Dan Sarekat berikhtiar mengatasi persoalan kemiskinan dengan
membangun jejaring bisnis yang kuat dan islami.
sedangkan Budi Utomo lahir sebagai kebijakan
perimbangan pemerintah kolonial Belanda. Organisasi ini berdiri untuk
mengimbangi Djamiat Choir yang berdiri pada 17 Juli 1905 atau 13 Jumadil Awal
1323 Hijriah. Djamiat Choir ini basisnya pendidikan dan ditaja oleh para sayid
atau bangsawan Arab. Djamiat mendirikan sekolah di Tanah Abang dan Krukut.
Waktunya hampir berbarengan dengan kebijakan politik etis. Perkembangan Djamiat
dan Sarekat tentu saja membuat pemerintah Belanda gerah. Bukan apa-apa, gerakan
yang berbasis pada pendidikan dan perdagangan, ujungnya menjadikan kesadaran
untuk merdeka menjadi mengemuka. Kalau itu yang terjadi, perlawanan terhadap
pemerintah kolonial akan semakin menjadi.
Ini juga ditunjang perubahan politik
di China dengan Revolusi China oleh Dr. Sun Yat Sen. Revolusi China sendiri
terjadi pada 1911. Ini didahului pemberontakan Bokser untuk membebaskan China
dari pengaruh Inggris dan Kekaisaran Shinto Jepang. Pemberontakan ini memang
gagal. Tapi sepuluh tahun berikutnya, Revolusi China pecah dan berhasil. Salah
satu kuncinya ialah peran muslim China yang diakui sendiri oleh Dr. Sun Yat
Sen. Pemerintah Hindia Belanda khawatir, perkembangan Islam di bidang
pendidikan dan perdagangan membawa dampak buruk. Maka, dengan kekhasan
penjajah, dilancarkan politik pecah belah. Dibikin organisasi tandingan. Dan
Budi Utomo dinawaitukan untuk itu. Peran Bupati Serang Banten PAA Achmad
Djajadiningrat sangat sentral dalam pembentukan Budi Utomo. Karena Djamiat
berasal dari kalangan bangsawan Arab, Budi Utomo juga hendak menyamainya dengan
mengusung bangsawan Jawa. Dan dari sisi nama, Budi Utomo serupa dengan Djamiat
Choir. Djamiat Choir ini bermakna jamaah yang baik. Dan nama Budi Utomo selaras
dengan itu. Klop sudah.
Yang mencengangkan dan tidak banyak
ditulis sejarawan, Dr. Sutomo sebagai pendiri Budi Utomo sosok yang konsekuen
dengan ajaran agama Jawa. Ia bahkan tak mendirikan salat. Bahkan kata Dr.
Sutomo, daripada naik haji, lebih baik ke Boven Digul. Argumentasi pendiri Budi
Utomo ini terekam dengan baik oleh Haji Mas Mansyur, Ketua Persyarikatan
Muhammadiyah. Ia berdialog dengan Dr. Sutomo dan Sutomo mengatakan hal yang
demikian. Yang tidak boleh dilupakan, tidak semua orang bisa masuk Budi Utomo.
Jika hanya orang biasa, tidak bisa masuk ke Budi Utomo meski ia orang Jawa.
Bahkan yang lebih mengejutkan, Budi Utomo menolak pelaksanaan cita-cita
Persatuan Indonesia. Ini menjadi wajar kalau kita tilik dari aspek awal
berdirinya yang diinisiasi pemerintah kolonial Belanda dan Bupati Serang Banten
yang merupakan kepanjangan tangan Belanda.
Sarekat Dagang Islam juga mendapat
perlakuan yang sama. Jika Budi Utomo untuk mengimbangi Djamiat Choir,
pemerintah kolonial membentuk Sarekat Dagang Islamiah di Bogor pada 1909. Tapi,
peranan organisasi tandingan ini tidak siginifikan. Kucuran duit dari
pemerintah kolonial tak menjamin eksistensinya. Bahkan media yang diterbitkan
organisasi tandingan ini tak mampu menyaingi buletin Taman Pewarta yang
diterbitkan Sarekat Dagang Islam. Tiga belas tahun buletin ini terbit. Sebuah
masa yang panjang untuk ukuran media saat itu.
Mungkin sedikit yang paham bagaimana
ceritanya sampai 20 Mei dijadikan Hari Kebangkitan Nasional.. Ketika itu
kabinet Hatta sedang memerintah, 1948-1949. Hatta mendapat serangan balik dari
pelaku kudeta 3 Juli 1946, yakni Tan Malaka yang Marxis Murba dan Mohammad
Yamin. Hatta mencoba mengadakan peringatakn Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini
diakibatkan pembelaan Tan Malaka dan Mohammad Yamin diangkat di media cetak dan
radio. Hatta menilai, hal itu akan menumbuhkan perpecahan bangsa yang sedang
menghadapi perang kemerdekaan.
Hatta kemudian mencari solusi dengan
membuat Hari Kebangkitan Nasional. Dipilihlah organisasi yang sudah mati dan
dianggap memelopori gerakan kebangkitan pada abad ke-20. Budi Utomo kemudian
dipilih. Padahal, masa itu, deretan organisasi yang lebih awal bahkan rekam
jejak sejarah perjuangannya masih dirasakan, masih ada. Yang dipilih bukan
Sarekat Dagang Islam yang berdiri 16 Oktober 1905, Persyarikatan Muhammadiyah
(18 November 1912), Persatuan Islam (12 September 1923), atau Nahdlatul Ulama
(31 Januari 1926).
Pemerintah kita memang acap menjalankan
politik deislamisasi serta ahistoris. Mungkin mereka keberatan jika hari
bersejarah diambil dari momentum penting sejarah organisasi Islam. Padahal, ini
wajar. Dengan mayoritas penduduk muslim, ya masuk akal kalau banyak organisasi
Islam bermunculan dan menjadi perekat bangsa. Apalagi organisasi itu rerata
bervisi kemerdekaan Indonesia. Agak aneh kalau kemudian peran umat Islam ini
dimarginalisasi, seolah tidak dianggap. Padahal, ya biasa dan wajar saja.
Terkecuali peran politik Islam ini berada di negara yang mayoritas penduduknya
nonmuslim. Kalau begitu kejadiannya, wajar saja kalau perannya kecil. Tapi ini
kan di Indonesia. Apa ruginya kalau kita menempatkan sejarah pada posisinya
agar menjadi alat belajar. Contohlah Jerman. Meski punya latar kelam dengan
Nazi di Perang Dunia II dan kekejaman terhadap Yahudi, Jerman terbuka saja.
Mereka mengakui ada sejarah kelam dalam rekam jejak kenegaraannya. Dan itu tak
masalah, bahkan menjadi khazanah tersendiri. Buktinya sekarang, Jerman menjadi
negara maju dan sangat modern. Indonesia mestinya juga demikian.
Namun, apa pun itu, momentum Hari Kebangkitan Nasional
ini bukan sekadar perayaan. Tapi ia mesti mengejawantah dalam alam pikiran dan
tindakan yang lebih konkret dan sistematis. Bagaimana memberantas korupsi,
memberantas terorisme, memerangi kemiskinan, dan menyejahterakan penduduknya.
Soal latar hari itu diperingati, bolehlah diadakan diskursus yang lebih serius
dan mendalam. Sebab, sejarah itu bukan sekadar romantisme masa lalu.
thanks, informasinya komplit bnget
BalasHapusTerima kasih makalahnya, saya sedang mencari bahan mengenai Hasan Ali Surati, salah satu anggota SDI yang masuk bersama Hos cokroaminoto, apakah ada literatur?
BalasHapusDaftar pustakanya ko g ada?
BalasHapus